PROBATAM.CO, Batam – Ekosistem hutan mangrove di Batam, Provinsi Kepulauan Riau kian menurun. Penyebabnya diduga didominasi kegiatan reklamasi pembangunan dan pembuatan arang.
Aktivis lingkungan Akar Bumi Indonesia (ABI) bahkan menyebut populasinya di Batam yang pada tahun 1970 sebanyak 50 persen, kini surut menjadi 4,2 persen berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup.
Hal ini dipaparkan oleh salah satu pengurus ABI, Hendrik Hermawan saat organisasi aktivis lingkungan itu melakukan kegiatan workshop bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Batam di Tanjung Piayu, Minggu (26/1).
Pada kesempatan tersebut Hendrik juga mengatakan soal sinergisitas untuk membangun kembali ekosistem hutan mangrove melalui konservasi sangat sulit dan mahal.
“Konservasi hutan mangrove sangat mahal, perlu kebersamaan antara penggiat lingkungan, lembaga pemerintah dan masyarakat, dan itu sangatlah penting,” kata dia.
Adapun populasi mangrove di gugusan pulau Batam yang masih terawat menurut dia hanya beberapa titik saja. Seperti di pesisir Kampung Bagan hingga Kampung Jawa. Semua itu membentang di pesisir Tanjung Piayu dan Pulau Cicit Barelang.
Sebagai penggiat lingkungan, Hendrik menyebut membangun kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan mangrove sangat sulit karena dipengaruhi indikator-indikator lain.
“Seperti masyarakat nelayan yang belum menyadari manfaat ekosistem mangrove itu penting bagi kelangsungan kehidupan dengan bertambahnya biota-biota tepi laut,” katanya.
Kemudian, sambung dia, segelintir pengusaha yang sukses mempengaruhi masyarakat nelayan menggunakan kepingan rupiah melakukan pembalakan pohon mangrove guna produksi arang.
Ada pula yang disebut dia negosiator-negosiator gelap, elit pengusaha nakal yang sukses mempengaruhi oknum pejabat dan aparat dalam mengeluarkan izin pembangunan.
“Lalu, kurangnya sinergi antara lembaga pemerintah seperti bidang lingkungan hidup dan kelautan,” tambahnya.
Selain itu, juga karena aktivitas Non-Goverment Organitaion (NGO) untuk kepentingan bisnis pribadi dengan dalih mengedepankan kepentingan organisasi melaui isu peduli lingkungan dan masyarakat nelayan.
“Banyak yang melakukan penanaman yang tidak diimbangi dengan perawatan,” sambungnya.
Menurut dia, mangrove bisa dilepas setelah ditanam memerlukan waktu selama 4 tahun. Waktu yang memang cukup lama untuk menjaganya, dan juga memerlukan biaya yang cukup tinggi.
“Jika dalam kegiatan menanam sekitar 45 persen dari total bibit yang ditanam dapat hidup, biasanya disebabkan oleh faktor alam dan manusia,” kata dia. (azx)