PROBATAM.CO, JAKARTA – Rencana Kementerian Agama (Kemenag) mengubah Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi tempat pernikahan semua pemeluk agama menuai beragam respons.
Sebelumnya, KUA diperuntukkan hanya untuk urusan menikah umat Islam. Adapun untuk agama lain, khususnya pencatatan pernikahan, dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil).
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie menilai rencana Kemenag dimaksud merupakan sebuah terobosan.
Ia berpendapat hal tersebut sebagai bentuk kepedulian negara dalam memberikan pelayanan yang adil kepada seluruh warganya.
“Saya kira ini bukan hambatan tapi terobosan yang memang patut diapresiasi,” kata Tholabi saat dihubungi melalui pesan tertulis, Selasa (27/2/24).
Ia menyambut baik rencana tersebut karena esensi Kemenag sebagai organisasi negara yang melayani kepentingan semua umat beragama dapat direalisasikan.
Menurutnya, rencana membuat KUA sebagai tempat pernikahan dan pencatatan pernikahan semua pemeluk agama merupakan gagasan out of the box dan rasional.
“Dari sisi administrasi negara misalnya, ini akan sangat bermanfaat dalam konteks integrasi data perkawinan masyarakat. Selama ini masih terbelah data perkawinan muslim ada di Kementerian Agama, yang nonmuslim ada di kementerian lain,” sambungnya.
Harmonisasi aturan dan organisasi
Tholabi menambahkan rencana tersebut harus dikonsolidasikan melalui berbagai aspek, baik regulasi, organisasi, maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM).
Berbagai aspek tersebut penting dikonsolidasi guna memastikan rencana dapat berjalan dengan baik.
“Untuk merealisasikan gagasan tersebut, tentu sejumlah aspek seperti regulasi, organisasi, hingga SDM harus dibereskan terlebih dahulu,” imbuhnya.
Dari sisi regulasi, terang Tholabi, secara eksplisit maupun implisit masih menempatkan pencatatan perkawinan di dua klaster, yakni pencatatan perkawinan untuk muslim dan pencatatan perkawinan bagi nonmuslim.
Rencana Kemenag di atas bersinggungan dengan sejumlah aturan yang ada seperti UU 32/1954 tentang Penetapan UU 22/1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, PP 9/1975 tentang Pelaksanaan UU 1/1974 tentang Perkawinan, Peraturan Menteri Agama (PMA) 20/2019 tentang Pencatatan Pernikahan, dan PMA 34/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.
“Harus ada penyesuaian peraturan perundang-undangan, terutama UU Adminduk yang mengatur administrasi perkawinan warga. Muslim di KUA dan nonmuslim di KCS. Prosesnya tentu memakan waktu yang tidak sebentar. Belum lagi menyesuaikan aturan-aturan di bawahnya,” tutur Tholabi.
“Tapi prinsipnya memungkinkan, hanya saja perlu proses panjang karena cukup fundamental,” lanjut dia.
Ia turut mengingatkan rencana Kemenag tersebut akan berdampak pada persinggungan lain seperti dalam urusan koordinasi dan harmonisasi baik dari sisi regulasi maupun pemindahan beban kerja antarinstansi.
“Jadi, tidak sekadar urusan regulasi tapi harus melakukan penyamaan persepsi antarkementerian dan pelaksana teknis di lapangan,” ucap Tholabi.
Kendala ritual
Tanggapan positif dari Guru Besar UIN ini bertolak belakang dengan sikap Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI).
PGI meminta Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas beserta jajarannya mempertimbangkan rencana tersebut dan terlebih dahulu mendiskusikannya dengan semua pemuka agama.
Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI Henrek Lokra mengatakan di agama Kristen, pernikahan adalah urusan privat dan tugas gereja adalah memberkati pernikahan seseorang.
Ia berpendapat negara sudah benar mengurus administrasi kependudukan. Di sisi lain, gereja bertugas memberkati pernikahan.
“Sebaiknya dipertimbangkan dengan matang. Sebab di Kristen, pernikahan itu urusan privat, dan tempatnya di catatan sipil. Gereja bertugas memberkati sebuah pernikahan yang adalah wilayah privat seseorang,” kata Henrek, Senin (26/2/24).
Kekhawatiran PGI ini ditangkap Syafaul Mudawam, Dosen Hukum Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Secara umum dia menyambut baik ide perihal pencatatan pernikahan semua agama dilakukan di KUA. Namun, ia menyoroti pelaksanaan pernikahan di masing-masing agama yang sudah mempunyai aturan internal sesuai ajarannya. Hal itu yang menurut dia menjadi kendala merealisasikan rencana Kemenag dalam waktu dekat.
“Untuk birokrasi atau pencatatan pernikahan itu bisa dilakukan di semua KUA, cuma permasalahannya, ada permasalahannya, itu adalah bahwa persoalan pernikahan menyangkut persoalan spiritual atau ritual. Itu jadi masalah,” ungkap Syafaul.
“Apakah masing-masing agama menempatkan prosesi pernikahan sebagai upacara ritual atau bukan. Seperti dalam Islam itu sebagai prosesi upacara ritual, dan sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat muslim. Begitu juga di agama non-muslim seperti Katolik maupun Kristen itu sendiri sebagai ritual yang dilaksanakan pemberkatan bahasanya itu di gereja,” kata Syafaul menambahkan.
Atas permasalahan tersebut, Syafaul menyatakan Kemenag harus melakukan diskusi ataupun koordinasi lebih lanjut dengan para pihak terkait yaitu semua pemuka agama.
“Iya, karena ini menyangkut upacara ritualnya,” kata Syafaul menjelaskan pekerjaan rumah Kemenag berkoordinasi dengan pihak terkait.(*/Del)
sumber: cnnindonesia