Dr Mardianto Manan, MT: Ketika Suara Rakyat dapat Dibeli, Apa Lagi yang Dapat Dibanggakan?

PROBATAM. CO, Pekanbaru, – APALAH arti kemenangan ketika suara rakyat dapat dibeli atau sogok, se-upil pun tak ada yang dapat dibanggakan.

Untuk apa menang jika uang habis empat sampai enam miliaran demi sebuah ambisi menjadi wakil rakyat.

Hebat…?
Bangga… ?
Bahagia… ?
Taklah… !

Saya bangga dan merasa hebat tanpa ancaman jabatan dan sogok menyogok saya dapat meraih 12.000-an suara. Alhamdulillah terimakasih kepada warga yang pintar memilih bukan karena sesuatu, tapi betul dengan hati nurani.

Jika dalam perjalanan saya kalah, itu karena konsistensi saya dalam berjuang. Tanpa sogok dan kijok ancaman penguasa. Ini “Kalah terhormat” namanya. Saya dan tim sukses punya motto “menang hebat, kalah terhormat.”

ITULAH suara hati Dr. MARDIANTO MANAN, M.T caleg DPRD Riau Dapil Riau 8 (Kuantan Singingi dan Indragiri Hulu) , ketika ditanya prihal hitungan “SIREKAP.” Katanya susah bicara tentang hitungan sirekap dan kualitas hasil pemilu saat ini.

Ketika duit berbicara;
Ketika akal sehat dikalahkan nafsu serakah;
Ketika mata hati telah dibutakan;
Ketika gelar dan jenjang pendidikan jadi mainan;
Ketika kualitas kerja tak lagi jadi acuan; dan
Ketika ancaman terus bergelora.

Mardianto mengakui jualan ketika kampanye adalah memberikan pembelajaran politik santun dan pintar dengan program pokir. Ia mengedukasi warga agar jangan mau dibodohi politik uang dan ancaman kekuasaan.

Kini Mardianto sedang menunggu keputusan final dari KPU. Kepada tim suksesnya dia mengatakan: “Walaupun suara sumbang sana sini, total suara mereka sudah di atas perolehan kita. Kita tetap istiqomah bahwa keputusan akhir ada di tangan Allah. Apapun hasilnya semua itu sudah merupakan skenario (kehendak) Allah SWT.

Mardianto yakin sahebat-hebatnya skenario, skenario dari Allah di atas segala galanya. Terima kasih atas kesetiaan kita dalam menunggu ruang (group) berharga ini. Semoga ke depan silaturahim kita tetap terjaga. Aamiin ya Allah.

Menang atau kalah….? Katanya ia siap dengan catatan: menang hebat, kalah terhormat.

SIAPA MARDIANTO

iZINKAN saya menulis sekilas tentang Mardianto – teman seperjuangan yang akrab kami panggil “sikurus” karena berat badannya tak pernah mencapai 50 Kg. Gizinya habis memperjuangan aspirasi rakyat yang dicintainya.

Inilah sisi lain dari Mardianto. Sesuai dengan KTP nama aslinya adalah Mardianto. Tapi orang menyapanya MM. Soal nama Manan di belakang namanya banyak yang mengaitkan dengan Wali Kota Tanjungpinang 2003-2008 dan 2008-2013: Suryatati A Manan dan Bupati Kabupaten Kepulauan Riau 1990-1995 dan 1995-2000: Abdul Manan Saiman.

Apalagi Mardianto menyelesaikan bangku pendidikan menengah atasnya di SMA 2 Tanjungpinang tahun 1988 Jurusan Biologi. Lengkap sudah julukan anak atau adik orang penting di Kepulauan Riau lengket pada dirinya.

Lalu apakah Mardianto punya hubungan kekerabatan dengan kedua mantan petinggi di Provinsi Kepulauan Riau itu? Ia hanya tersenyum.“Ah sudahlah… “ katanya singkat.

William shakespeare pernah mengungkapkan: “what’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” (apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi).

Yang jelas nama Manan di belakang namanya berasal dari nama ayahnya H. Abdul Manan asal Pangian yang menikah dengan Hj. Roslaini. Pasangan ini punya enam buah hati. Satu di antaranya Mardianto yang lahir 3 November 1969. Saudaranya yang lain adalah Masrida, Mislinda, Martoni, Yenita, dan Fera Yenita

Terlepas soal nama Manan di belakang namanya tak perlu ditanyakan. Clear sudah
Masyarakat Kuantan Singingi lebih mengenal sosok Mardianto seorang kritis dan peduli terhadap masyarakat yang acap kali mengalami persoalan sosial.

Namun di balik sifat kritisnya itu ada sisi kelembutan nan romantis yang jarang diketahui orang banyak. Tien Triani, S.Si – mantan pacar yang kini jadi istrinya tahu bahwa suaminya (Mardianto) itu hatinya selembut salju. Begitu juga dengan ketiga anaknya: Reizahra Dianisa, Nurulia Nafadila, dan M. Andika Akbar.

Tien Triani adalah anak dari pasangan penyair Ibrahim Sattah dan Jalini. Alumni UGM Jurusan Biologi ini dinikahi Mardianto Manan tahun 2000. Kini Tien bekerja sebagai “Cik Gu” SMP di Pekanbaru,

Sikap kritis Mardianto itu sebenarnya sudah tampak sejak duduk di bangku SMP 1 Pangian. Pada tahun 1985 Rektor Universitas Riau (1993-1998) Mohammad Diah baru meraih gelar doktor atau Philosphy (Ph.D) dari University of Iillionis Chicago Amerika Serikat “pulang kampung” ke Pangian.

Mohammad Diah memberikan ceramah motivasi dihadapan anak SMP Pangian. Dan, di antara ratusan siswa yang ikut adalah “si kurui karempeng nan kore kapalo” Mardianto.

Ketika Mohammad Diah membuka sesi tanya jawab, hanya Mardianto dengan “songongnya yang berani bertanya. Yang lain membisu bagaikan patung atau burung pungguk merindukan bulan. Istilah bagak di kandang batanyo takuik.

“Perkenalkan nama saya Mardianto. Bapak saya Abdul Manan. Ibu saya Roslaini. Bla.. Bla… Bla…. Saya mau menjadi doktor seperti Bapak. Bagaimana caranya, Pak? Mohon petunjuk agar kelak nama saya jadi Doktor Mardianto.”

Mohammad Diah tersenyum manis. Dia menjawab: harus rajin belajar, jangan pernah putus asa dalam menuntut ilmu. “Tuntutlah ilmu setinggi langit dan kejarlah ilmu itu sampai ke negeri Cina sekali pun,” jawab Mohamad Diah tersenyum.

Rupanya pertanyaan Mardianto itu jawabannya kini menjadi kenyataan. Ia meraih Program Doktor S-3 Studi Ilmu Lingkungan di Program Pascasarjana Unri, Kamis, 29 Juli 2021 dengan IPK 4,0 atau predikat cumlaude.

Mardianto kembali menangis ketika meraih gelar itu. Dihadapan Rektor Unri, Prof. Dr. Aras Mulyadi, D.E.A dia memberi alasan mengapa menangis. Ia ingat pesan ayahnya. Yakni sekolah setinggi-tingginya bahkan ke Jepang pun akan ayah sekolahkan. Biar terjual apa yang ada yang penting kalian sekolah serius.

Sekarang empat anak Abdul Manan sudah meraih gelar doctor. Ia ingat dan terbayang wajah bapak tersenyum padanya. Itulah mengapa ia sontak menangis. Ia merupakan anggota DPRD Riau periode 2019-2024 yang berhasil meraih gelar doktor.

PERJALANAN Mardianto yang juga disapa Edi Monan ini sebagai aktivis sebenarnya cukup panjang. Setelah kalah “menyakitkan” dalam pemilihan Ketua Ikatan Pemuda Mahasiswa Kuantan Singingi (IPMAKUSI) Pekanbaru oleh Apriadi pada 31 Mei 1999, ia sempat “merengguik.” Berkat nasehat pujaan hatinya yang waktu itu tengah kuliah di UGM Yogyakarta, ia cepat bangkit kembali.

Perjuangannya dalam pemekaran hingga Kuantan Singingi resmi menjadi kabupaten pada 12 Oktober 1999 tak bisa dipandang sebelah mata. Kendati bayang-bayang ancaman pembunuhan selalu menempa dirinya, dia tak pernah mundur selangkahpun.

Setahun setelah Kuantan Singingi jadi kabupaten, Mardianto pernah menjadi Ketua Sekolah Tinggi Teknologi Unggulan Swarnadwipa (STT-US) Kuantan Singingi (2000-2003). Lalu digantikan Ir. Mahdili yang waktu itu menjabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kuantan Singingi.

Sayang, ketika STT-US melebur jadi Universitas Islam Kuantan Singingi (UNIKS), ia tak pernah lagi diundang ketika UNIKS mewisuda mahasiswanya. Ia sempat protes. Tapi seiring perjalanan waktu ia tahu diri.

“Mungkin panitia “lupa”atau sengaja “melupakan” namanya ketika membuat undangan. Bisa juga terjadi undangan untuk kami itu “nyangkut” atau “hanyut” di sungai Kuantan,” ujarnya singkat.

Selain itu Mardianto pernah menjabat sebagai Sekum IKKS Pekanbaru periode 1999-2004 dan 2004-2009. Ketuanya lAras Mulyadi. Ia juga pernah menerbitkan majalah elang Elang Pulai (1999-2008).

Ia aktif di LSM Elang Pulai, Forum Peduli Kota (Forlita), dan Forum Kota Sehat. Ia rajin mengkritisi pemerintah sesuai dengan disiplin ilmunya Perencanaan Kota dan Daerah. Mardianto pernah mendapat penghargaan Kota Sehat tingkat Utam tahun 2008. Hadiahnya diserahkan Wakil Presiden Yusuf Kalla.

Sebagai akademisi Mardianto pernah mengajar di program Pasca Sarjana Ilmu Sosiologi Urban Studies dan Ilmu Adminitrasi Publik Unri (2006-2015), Dosen Pembimbing/Penguji di Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan Universitas Riau, Dosen Pasca Sarjana Magister Adminitrasi Publik Universitas Terbuka (2006-2012).

Kemudian Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) Fakultas Teknik Universitas Islam Riau (2012-2017). Ia mendapatkan Sertifikasi Dosen Nasional sebagai Pendidik Kementerian Riset dan Teknologi, Dosen Profesional pada Bidang Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota sejak tahun 2017.

Sedangkan kariernya di bidang non akademik; Pernah menjabat Ketua Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) 2015 pemegang Sertifikasi Tenaga Ahli PWK Tingkat UTAMA Tahun 2017 yang dikeluarkan oleh IAP Indonesia dan LPJK Nasional Jakarta. Sertifikasi Mediator di Pusat Mediator Nasional Jakarta 2010

Mardianto menulis buku: Kata Kato Kota Kita (2011), Kota Kita Gila (2015), Menata Kota Menata Kehidupan, Membangun Kota Membangun Kehidupan (2018), Menata Ruang Hijau Kota (2019), dan lainnya.

Pemikiran dan ide kreatifnya juga tersebar di media terbitan Riau, Padang, Medan, Batam, Jakarta, dan lainnya. (*)


Penulis: Sahabat Jang Itam & Tim
Forum IKKS IWAKUSI Indonesia