PROBATAM.CO, Batam – Aktivitas lepas jangkar kapal di perairan Kepulauan Riau (Kepri) menyebabkan kerusakan pada Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL).
Direktur Utama Triasmitra, Titus Dondi menyebut, sepanjang tahun 2013 hingga sekarang tercatat terjadi 69 kali kabel bawah laut putus di sekitar perairan Indonesia.
Dari jumlah itu, sekitar 60 persen kabel bawah laut putus disebabkan aktivitas lepas jangkar kapal. Kemudian 25 persen karena vandalisme, dan 10 persen akibat kejadian alam seperti gempa dan lainnya.
“Dari jumlah itu, sekitar 30-40 persen diantaranya berada di perairan Kepri mengingat jalur lalu lintas lautnya yang sangat padat dan ramai. Untuk di Kepri sendiri lebih banyak disebabkan oleh labuh jangkar dan disusul vandalisme,” kata Titus di Batam, Selasa (15/10).
Adapun pemilik kabel bawah laut yang putus disebutkan Titus yakni perusahaan Telkom, Indosat, Kominfo hingga Palapa Ring Barat.
Menurut dia, lebih dari 5.000 kapal setiap harinya melintasi perairan Indonesia semuanya melewati kabel bawah laut. Dari jumlah itu, 1.000 kapal yang melintas kecepatannya melambat atau berkurang 2 knot.
“Dari 1.000 kapal tadi, ada ratusan kapal yang memang mau ‘membuang’ jangkar, dan tidak menyalakan AIS. Oleh karena itu, pihaknya selalu melakukan monitoring dengan maksimal sehingga tidak sampai terjadi insiden kabel putus,” kata dia.
AIS yang dimaksud Titus adalah Automatic Identification System. Jika ini dinyalakan, imbuh dia, tentunya dampak kabel bawah laut yang putus bisa dikurangi dengan hanya melakukan pemantauan pada AIS.
“Dengan AIS, kita bisa memantau dan menghubungi mereka agar tidak parkir sembarangan. Akan tetapi, ketika AIS dimatikan, kita kehilangan kontrol atas kapal tersebut,” tambahnya.
Guna meningkatkan keselamatan dan keamanan pelayaran, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mewajibkan penggunaan AIS ini pada kapal yang berlayar di perairan Indonesia.
Aturan wajib AIS ini ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 7 Tahun 2019 tanggal 20 Februari tahun 2019. Aturan ini efektif berlaku pada 20 Agustus 2019 terhadap seluruh kapal yang berlayar di perairan Indonesia, baik itu kapal konvensi dan non konvensi serta berbendera asing maupun bendera Indonesia.
AIS adalah perangkat navigasi yang berkembang setelah sistem radar. AIS sesungguhnya adalah perangkat transceiver yang mampu secara otomatis memancarkan dan menerima data navigasi (ID kapal dan posisi) melalui sinyal radio Very High Frequency (VHF).
Sebelumnya, IMO menetapkan AIS beroperasi pada frekuensi 161,975 MHz dan 162,025 MHz. Dimana jangkauan transmisi AIS sekitar 35 mil dengan syarat tidak ada penghalang antara antena pemancar dan penerima.
Sinyal yang dipancarkan oleh AIS dapat diterima oleh kapal yang memiliki perangkat AIS, stasiun darat berupa VTS dan Sistem radio pantai (SROP) dan satelit (AIS Receiver Satellite).
“Untuk itu, kapal-kapal yang berukuran hingga 300 GT ke atas, diwajibkan untuk menyalakan AIS selama berlayar di perairan Indonesia,” kata Titus lagi. (az)