PROBATAM.CO – Lima tahun sudah rencana pembangunan depo minyak (Petroleum Storage Terminal) di Pulau Janda Berhias, Batam, Kepulauan Riau terkatung-katung. Padahal, total investasinya lumayan besar: US$841 juta atau setara Rp12 triliun jika dikonversi ke kurs rupiah hari ini. Masih mungkinkah investasi itu diselamatkan?
Informasi yang dihimpun bizlaw.id, kasus ini sudah dilaporkan ke Pokja IV Satuan Tugas Percepatan Kebijakan Ekonomi sejak Februari 2017. Pokja IV adalah kelompok kerja lintas kementerian yang dibentuk sejak 2016 untuk mencari solusi jika ada hambatan investasi.
Cerita bermula pada 2013. Ketika itu Sinomart KTS Development Limited asal China dan perusahaan lokal bernama PT Mas Capital Trust (MCT) membentuk joint venture untuk pembangunan depo minyak berkapasitas 2,6 juta meter kubik di Pulau Janda Berhias, Batam. Sinomart adalah anak perusahaan Grup Sinopec yang merupakan BUMN-nya China.
Perusahaan joint venture itu diberi nama PT West Point Terminal. Di sini, Sinomart menguasai 95 persen saham. Sedangkan PT MCT memiliki 5 persen sisanya.
Dari kerjasama itu, mereka menargetkan pembangunan depo minyak terbesar di Asia Tenggara itu bisa rampung pada 2016.
Untuk pemakaian lahan seluas 75 hektare (dari total 130 hektare areal pulau), PT West Point disebut-sebut telah menyewanya senilai Rp1 triliun. Mereka bekerjasama dengan PT Batam Sentralindo. Disepakati, lahan tersebut bisa dipakai selama 50 tahun.
Namun, berdasarkan laporan yang masuk ke Pokja IV Satgas Percepatan Kebijakan Ekonomi, hingga kini proyek tersebut belum ada perkembangan sama sekali.
Dalam laporan kepada Hong Kong Stock Exchange, Sinopec Kantons menyebutkan berhak menunjuk langsung anak usahanya, Sinopec Engineering, sebagai kontraktor utama proyek senilai US$ 738 juta.
Padahal, jika proyek ini selesai, diperkirakan bisa membuka lapangan kerja baru bagi 5.000 orang di pulau yang berjarak setengah jam melaut dari Batam itu.
Mengapa proyek itu terhenti? Kedua pihak yang terlibat dalam kerjasama saling tuding. MCT menuding Sinomart melanggar perjanjian karena menunjuk langsung anak perusahaannya yakni Sinopec Engineering Group sebagai kontraktor pembangunan depo minyak.
Padahal, menurut pihak MCT, penunjukan kontraktor harus melalui tender internasional dan hukum Indonesia.
Dalam laporan kepada Hong Kong Stock Exchange pada 18 November 2013, Sinopec Kantons menyebutkan berhak menunjuk langsung anak usahanya, Sinopec Engineering, sebagai kontraktor utama proyek senilai US$ 738 juta itu.
Padahal, 13 kontraktor internasional dari enam negara mengajukan penawaran yang jauh lebih rendah. Kontraktor asal Indonesia, Singapura, Malaysia, Australia, Korea Selatan, dan Belanda itu rata-rata mengajukan penawaran US$ 582,7 juta atau sekitar Rp 7,7 triliun.
Tak ada titik temu, pembangunan depo pun terhenti. “Kami dispute soal itu. Belum ada penyelesaian,” ujar Defrizal, Kuasa Hukum PT MCT.
Polda Kepulauan Riau menemukan jejak transfer uang dari PT West Point kepada Sinopec Century Bright Capital di Hong Kong.
Pihak Sinomart membantah tudingan itu.
“Kalau dilihat dari porsi saham, sudah jelas bahwa Sinomart memiliki saham terbesar. Kalau untuk suara terbanyak tetap kami (sinomart) yang menang. Lagi pula, dari Sinomart juga belum secara resmi menunjuk kontraktornya,” kata Kuasa Hukum Sinomart, Osman Hasyim, seperti dilaporkan batamnews.co.id, Maret 2017.
Belakangan, sengketa itu berlanjut ke polisi. PT MCT melaporkan tiga direksi PT West Point Terminal sebagai tersangka karena diduga menggelapkan uang perusahaan senilai US$ 1,5 juta atau setara Rp21,4 miliar. Mereka adalah Zhang Jun (Direktur Keuangan), Feng Zhigang (Direktur Utama) dan Ye Zhijun (Komisaris Utama).
Dalam pengembangan penyidikan, tim Polda Kepulauan Riau menemukan jejak transfer uang dari PT West Point kepada Sinopec Century Bright Capital di Hong Kong. Transfer itu melalui rekening perseroan di Bank ICBC Cabang Batam.
Pemindahan buku sebanyak tiga kali itu atas perintah Zhang Jun dan Ye Zhijun. Padahal, menurut Defrizal, uang di rekening PT West Point bukan sepenuhnya milik Sinomart. Sebab, PT Mas Capital juga telah menyetor modal dan menjadi pemilik saham, meski hanya 5 persen.
“Tindakan Zhang Jun dan Ye Zhijun berpotensi dikategorikan pidana pencucian uang,” ujar Defrizal.
Sayangnya, ketiganya sudah keluar dari Batam sejak akhir 2016.
Pada 22 Mei 2018, Bareskrim Mabes Polri telah mengeluarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) No.B/468/V/2018/Dittipidum. Isinya: menyatakan telah melanjutkan proses penyidikan terhadap ketiga tersangka.
SP2HP kasus ini merupakan tindak lanjut dari keputusan Pra Peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Maret 2018. Dalam putusannya, hakim tunggal Kartim Herudin menyatakan penerbitan SP3 oleh Polri atas kasus penggelapan dana PT WPT oleh tiga direksi asal China itu tidak sah.
Surat itu disusul dengan permohonan Red Notice kepada Interpol untuk ketiga tersangka.
Pada Oktober lalu, Kepala Badan Pengusahaan Batam Lukita Dinarsyah Tuwo menemui Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan di Jakarta. Seusai pertemuan, Luhut mengatakan akan mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan proyek yang dalam sengketa itu.
“Kami ingin selesaikan permasalahan yang ada di Pulau Janda Berhias, karena ada investasi kilang beberapa juta dolar AS di sana. Kami ingin selesaikan karena sudah 6 tahun, supaya investasinya bisa jalan,” kata Luhut kepada wartawan.
Baca artikel menarik lainnya di Bizlaw.id