PROBATAM.CO, Jakarta — Vanuatu bergejolak usai Presiden Nikenike Vurobaravu membubarkan parlemen yang berencana menggelar mosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri Bob Loughman pada Kamis (18/8).
Pembubaran parlemen terjadi usai oposisi dan anggota parlemen pemerintah yang membelot berupaya menggulingkan Loughman. Loughman merupakan PM Vanuatu yang getol mengkritik Indonesia soal dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua.
Loughman sebelumnya berupaya memperpanjang masa jabatan dari empat tahun menjadi lima tahun. Ia menjadi PM pada April 2020 lalu.
Tindakan ini memicu kekecewaan banyak pihak, salah satunya dari oposisi.
Pemimpin oposisi, Ralph Regenvanu, lantas menyerukan mosi tidak percaya untuk Loughman.
Regenavu disebut mengantongi dukungan seluruh oposisi dan 17 anggota parlemen pemerintah.
Alasan utama anggota parlemen dari kubu pemerintah membelot adalah karena Loughman menolak memberikan kenaikan tunjangan bagi mereka.
Loughman tak tinggal diam menghadapi upaya penggulingan itu. Ia akhirnya meminta presiden untuk membubarkan parlemen.
“Saya sebagai perdana menteri telah bertemu dengan Kepala Negara untuk meminta pertimbangannya agar kita kembali kepada rakyat,” jelas Loughman dikutip Radio New Zealand.
Loughman sebetulnya akan menghadapi mosi tidak percaya pada Kamis. Namun, sebelum mosi berlangsung presiden terlebih dahulu membubarkan parlemen.
Regenvanu pun mengatakan akan menggugat pembubaran parlemen ini ke pengadilan lantaran dinilai dilakukan pemerintah secara ilegal agar Loughman terhindar dari mosi tidak percaya.
“Mayoritas anggota parlemen menentang pembubaran ini di pengadilan,” kata Regenvanu.
Parlemen di Vanuatu sudah berjalan dua tahun. Jika merujuk aturan hukum Vanuatu mereka harus menjalani masa jabatan dua tahun lagi.
Jika parlemen resmi bubar, maka mereka akan menggelar pemilihan umum dalam 60 hari ke depan. Sementara itu, pemilu seharusnya baru digelar pada 2024.(*)
Sumber: cnnindonesia.com