PROBATAM.CO – Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra menanggapi prediksi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bahwa Indonesia akan memasuki fase endemi Covid-19 tiga bulan mendatang. Menurutnya, jika melihat upaya pengendalian Covid-19 saat ini, tidak memungkinkan Indonesia masuk endemi dalam waktu dekat.
“Saya rasa belum tentu ya,” katanya kepada merdeka.com, Kamis (24/3).
Hermawan menyebut, ada sejumlah hal yang bisa menjadi rujukan penentuan endemi Covid-19. Pertama testing Covid-19 di daerah tinggi. Sementara saat ini, testing terus menurun, bahkan tercatat mencapai 52 persen.
Kedua, rekayasa kesehatan lingkungan di fasilitas umum, pemukiman penduduk, sampai tempat kerja dilakukan optimal. Rekayasa kesehatan ini berkaitan dengan pengaturan udara, kebersihan, alur kerja, dan lain-lain. Namun kenyataannya, rekayasa kesehatan lingkungan belum berjalan dengan baik.
Ketiga, status endemi ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO setelah melakukan evaluasi secara menyeluruh di tingkat global. Sampai saat ini, WHO belum mewacanakan pencabutan status pandemi Covid-19.
“Semua itu rasa-rasanya kita sekarang tidak mengarah ke persiapan (endemi) itu di lapangan,” ujar Hermawan.
Prediksi IDI Terlalu Cepat
Sebelumnya, Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko Wahyono menilai, prediksi IDI bahwa Indonesia akan memasuki fase endemi Covid-19 tiga bulan mendatang terlalu terburu-buru.
“Terlalu cepat lah kalau tiga bulan,” katanya saat dihubungi merdeka.com, Rabu (23/3).
Menurut Tri, situasi pandemi Covid-19 baru bisa dilihat pada enam bulan mendatang. Pernyataan ini merujuk pada jarak gelombang kedua dan ketiga pandemi di Tanah Air. Gelombang kedua mulai terjadi Juni hingga Juli 2021. Sementara gelombang ketiga mulai Januari 2022.
“Ada jarak dari gelombang kedua ke ketiga itu enam bulan. Jadi kita akan evaluasi enam bulan. Harusnya begitu. Enam bulan lah,” ujarnya.
Tri mengatakan, kebijakan pemerintah dalam mengendalikan Covid-19 saat ini kurang hati-hati. Dia mengambil contoh, pemerintah membebaskan penonton MotoGP Mandalika 2022 dari kewajiban tes PCR atau antigen, dengan syarat sudah mendapatkan vaksinasi lengkap.
Padahal, epidemiolog sudah menyarankan untuk tetap mewajibkan tes PCR atau antigen.
Tri menegaskan, kebijakan membebaskan tes PCR atau antigen sangat berisiko memicu lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia.
Dia mengingatkan, meski antibodi Covid-19 penduduk di Indonesia sudah mencapai 86,6 persen, lonjakan masih bisa terjadi. Apalagi jika muncul varian baru Covid-19 yang bisa menurunkan efikasi vaksin dan menghindari antibodi.
“Gelombang ketiga menunjukkan varian baru itu mengancam kita. Vaksinasi dan infeksi tidak ada manfaatnya kalau variannya itu benar-benar baru. WHO mengatakan itu karena ada Deltacron, gabungan antara Delta dan Omicron,” tegasnya.
IDI Prediksi 3 Bulan Lagi RI Masuk Endemi
Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof. Zubairi Djoerban memperkirakan tidak lama lagi Indonesia akan memasuki fase endemi Covid-19.
“Tidak akan lama lagi. Sekitar tiga bulan. Semoga,” katanya melalui akun Twitter @ProfesorZubairi yang telah diizinkan untuk dikutip merdeka.com, Selasa (22/3).
Dia menyebut, ada sejumlah faktor yang berperan penting menentukan situasi menuju endemi. Di antaranya, tingkat rawat inap dan kematian, beban sistem kesehatan, jumlah kasus baru, positivity rate, vaksinasi, kebijakan pemerintah, perilaku masyarakat, serta pengobatan baru.
Dia menegaskan, endemi bukan berarti kasus Covid-19 hilang. Kasus yang disebabkan virus SARS-CoV-2 itu akan tetap ada, hanya saja tidak mengalami lonjakan tajam seperti tahun lalu.
“Bukan berarti juga kita enggak berpikir tentang Covid-19 lagi. Penyakit ini tetap ada. Statis. Tak terlalu meningkat, tak terlalu turun,” jelasnya.
Menurut Zubairi, saat endemi, Covid-19 masih bisa menular bahkan menimbulkan kematian. Namun risikonya tidak terlalu besar.
Dia mengambil contoh penyakit endemi seperti Tuberkulosis (TBC) dan Malaria yang masih terus menular dan memicu kematian hingga saat ini.
“Keduanya masih sebabkan angka kesakitan dan kematian tinggi,” ucapnya.
Zubairi mengatakan Covid-19 belum bisa diberantas total saat ini. Namun, ada peluang untuk keluar dari fase endemi dan memasuki endemi Covid-19.
“Tidak lagi menjadi krisis dan lebih bisa terkelola,” tutupnya.
Menkes Usul 5 Indikator Endemi ke Jokowi
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan sudah mengusulkan lima indikator endemi Covid-19 kepada Presiden Joko Widodo. Usulan tersebut sudah diterima Kepala Negara.
Lima indikator itu merujuk pada ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, yakni transmisi komunitas Covid-19 harus berada pada level 1 antara 3 sampai 6 bulan.
“Usulan kami sebenarnya enam bulan (transmisi komunitas Covid-19 di level 1), tapi sekarang sedang didiskusikan,” katanya saat Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI, Rabu (23/3).
Indikator pertama, kasus terkonfirmasi positif Covid-19 tercatat hanya 20/100.000 penduduk per minggu. Kedua, keterisian rumah sakit rujukan Covid-19 hanya 5/100.000 penduduk per minggu. Ketiga, kasus kematian akibat Covid-19 hanya 1/100.000 penduduk per minggu.
“Kalau kita bisa memenuhi ketiga kriteria ini sekaligus, antara 3 sampai 6 bulan berturut-turut dari sisi kesehatan, itulah indikator bahwa kita sudah bisa masuk ke endemi,” ujarnya.
Indikator keempat, vaksinasi Covid-19 dosis lengkap harus mencapai 70 persen dari total populasi di Indonesia. Selain itu, vaksinasi lansia juga harus mencapai 70 persen. Terakhir, angka reproduksi efektif Covid-19 (Rt) harus di bawah 1.
Indikator Rt ini merupakan usulan dari para epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Airlangga (Unair). Saat ini, angka Rt Covid-19 masih lebih dari 1. Namun, Budi memprediksi laju penularan turun kurang dari 1 pada akhir Maret 2022.
“Jadi kalau Maret bisa di bawah 1, ya kita tarik 6 bulan dari Maret. Mudah-mudahan tidak ada varian baru, mudah-mudahan kita bisa atasi,” ucapnya.
Budi kembali menegaskan, penentuan endemi tidak selalu berdasarkan faktor kesehatan. Melainkan bisa mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
“Transisi dari pandemi ke endemi itu bukan melulu faktor kesehatan. Ada faktor sosial, ekonomi, politik, budaya yang masuk. Nah yang nanti harus diambil oleh Kepala Negara,” kata dia.(*)
Sumber: merdeka.com