PROBATAM.CO, Jakarta — Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengatakan pengambil alihan ruang kendali udara (FIR) di Kepulauan Riau termasuk Natuna akan menambah penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Penerimaan itu berasal dari pungutan jasa pelayanan navigasi penerbangan.
“Hal yang didapat dari MoU re-alignment itu adalah manfaat dari sisi ekonomi negara, yakni PNBP,” ungkap Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Novie Riyanto dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (4/2).
Novie menjelaskan keuntungan lain pengambil alihan ruang kendali udara dari Singapura adalah dari segi dukungan kerahasiaan dan keamanan kegiatan Pemerintah RI (TNI, Polri, Bea Cukai dan lain sebagainya). Selain itu, diplomatic clearance akan dikeluarkan oleh Indonesia.
“Apabila pesawat RI take off dan landing di batas terluar wilayah Indonesia nantinya diplomatic clearance dikeluarkan oleh Indonesia,” ucapnya.
Kemudian, Indonesia tak butuh izin negara lain jika ingin melakukan patroli. Dengan demikian, keselamatan dan kerahasiaan bisa ditangani Indonesia sendiri.
Terkait adanya pendelegasian kepada Singapura, yakni area sekitar 29 persen di bawah ketinggian 37 ribu kaki atau area yang berada di sekitar Bandara Changi, menurut Novie hal tersebut lebih dikarenakan pertimbangan keselamatan penerbangan.
“Di dalam 29 persen area yang didelegasikan tersebut, terdapat wilayah yang tetap dilayani oleh AirNav Indonesia untuk keperluan penerbangan seperti di Bandara Batam, Tanjung Pinang, dan lainnya. Hal ini sudah sesuai dengan pasal 263 UU nomer 1 Tahun 2009, dan ANNEX 11 article 2.1.1 konvensi Chicago 1944 serta resolusi ICAO Assembly ke 40,” jelas Novie.
Menurut Novie, pendelegasian tersebut tidak berarti Pemerintah Indonesia mengabaikan kedaulatan.
Sebelumnya, Pengamat Penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia (JAPRI) Gerry Soejatman mengatakan perjanjian RI dan Singapura akan menambah penerimaan dalam bentuk pungutan atas pelayanan navigasi kepada maskapai.
“Dampak bagi ekonomi RI ada penambahan penghasilan dari pungutan biaya pelayanan navigasi atau lalu lintas udara,” tutur Gerry.
Selama ini, Singapura hanya memungut PJNP untuk pesawat yang melewati sektor A (wilayah udara di atas 8 km sepanjang Batam dan Singapura). Lalu, pungutan itu diberikan 100 persen ke Indonesia.
Setelah perjanjian ini, maka Singapura juga akan memungut PJNP untuk pesawat yang melintas di sektor B (kawasan udara di atas Tanjung Pinang dan Karimun). Kemudian, dananya akan diserahkan 100 persen ke Indonesia.
“Sekarang Natuna juga tidak ada pungutan. Nantinya, Sektor C (Natuna) ada pungutan, dipungut oleh Indonesia,” jelas Gerry.
Meski begitu, Indonesia tak bisa langsung memungut PJNP untuk pesawat yang melintas di Natuna sekarang. Pasalnya, implementasi atas perjanjian RI-Singapura masih perlu diratifikasi terlebih dahulu.
“Harus diratifikasi masing-masing, lalu diajukan ke ICAO karena ini urusan kelancaran pelayanan penerbangan sipil,” terang Gerry.(*)
Sumber: cnnindonesia.com