PROBATAM.CO, Pangkalpinang – Kericuhan dalam demo akbar penambang timah menghancurkan kantor pusat PT Timah Tbk di Jalan Jenderal Sudirman, Kota Pangkalpinang, pada Senin, 6 Oktober 2025.
Mereka juga merobohkan pagar pembatas dan memecahkan kaca jendela sehingga kantor PT Timah rusak parah. Demo tersebut menimbulkan korban dari massa, warga sipil, polisi, hingga jurnalis akibat terkena tembakan gas air mata. Bahkan pedagang dan anak-anak turut menjadi korban setelah tembakan gas air mata masuk ke area permukiman.
Beberapa jurnalis yang meliput demontrasi pun turut terkena gas air mata. Mereka mengalami mata perih, hidung panas, dan pusing. Bahkan jurnalis TVRI, Eko, terkena tembakan air dari mobil water canon hingga mengalami bengkak di kening.
Demo akbar penambang dari beberapa wilayah di Pulau Bangka dipicu atas keresahan mereka soal adanya aktivitas Satuan Tugas (Satgas) Nanggala yang dibentuk PT Timah dan Satgas Halilintar yang dibentuk pemerintah dalam melakukan penertiban tambang Timah ilegal.
“Aktivitasnya meresahkan karena pasir timah hasil tambang kami tidak ada yang beli. Kolektor tidak satu pun yang mau membeli karena takut dengan satgas,” ujar Isma, warga Jebus, Kabupaten Bangka Barat, pada Senin, 6 Oktober 2025.
Isma mengatakan kesulitan penambang menjual hasil timah berimbas pada upaya memenuhi kebutuhan ekonomi untuk membeli beras dan keperluan rumah tangga lainnya. “Kami bukan mau nyari kaya. Hanya buat makan saja,” ujarnya.
Isma mengklaim sebelumnya penambang sudah susah karena timah mereka dibeli dengan harga murah. Namun, saat ini malah tidak ada yang mau membeli timah dari warga. “Bagaimana anak saya mau makan dan beli susu kalau seperti ini,” ujar dia.
Penambang timah di Bangka Selatan, Leo, mengatakan masyarakat yang berprofesi sebagai penambang sebetulnya
mau bekerja sesuai aturan. Hanya saja, kata dia, proses birokrasi mengurus perizinan, biaya, hingga administrasi di PT Timah sangat sulit dipenuhi warga kelas bawah.
“Belum lagi pasir timah yang kami tambang bukan masuk wilayah IUP (Izin Usaha Pertambangan) PT Timah. Tapi kami tetap tidak bisa menjual timah kami,” ujar Leo.
Leo berharap ada regulasi yang jelas dan mudah bagi masyarakat untuk menambang. Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), kata dia, sudah tidak jelas karena izin penambangan tidak pernah dikeluarkan.
Karena itu, Leo meminta pemerintah tidak asal menuding mereka sebagai orang yang tidak mau mengikuti aturan. “Regulasi sudah ribet, berbiaya tinggi pula.
Siapa yang mau kalau seperti itu?” ujarnya.
Ia meminta pemerintah untuk mengecek fakta di lapangan agar mendengar informasi dari penambang langsung. “Jangan cuma mendengar sepihak dari PT Timah atau pemerintah daerah saja. Kalau PT Timah dicintai masyarakat, mereka tidak butuh satgas. Kami yang akan menjaga mereka,” ujar Leo.(oni)
