>. Penasehat PWI dan SMSI Kepulauan Riau
TELEPON masuk dari Amril Agin, wartawan senior Tanjungpinang, pukul 17.04 WIB, kemarin, meruntuhkan semua dinding rasa: Bang Abdul Hamid meninggal dunia. Langit senja di Batam yang cerah tiba-tiba mengandung mendung di kelopak mata.
Suara Uda Amril di ujung ponsel bergetar. Hanya satu menit ia bicara, agak terbata. Setelahnya, gelombang kenangan di benak saya memanjang, semakin panjang, menggulung buhul-buhul tarikh persahabatan.
Tahun 2016 hingga 2018, saat bertugas sebagai Pemimpin Redaksi Harian Tanjungpinang Pos, saya, Uda Amril, Bang Hamid, dan ramai wartawan, sering menghabiskan malam di kedai kopi Bang Charles Sitompul, Ketua AMSI Kepri, di Jalan Wiratno, Kota Tanjungpinang.

Bang Hamid mudah tertawa. Suara tawanya menular. Beda dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Pernah saya mengira dengkang tawa itu cara Bang Hamid menyembunyikan sembilu dalam liputannya. Tetapi tidak.
Ia hanya sekeras itu membagi diri. Kepada rekan seprofesi, apalagi yang muda-muda, Bang Hamid penuh gurau, welas asih. Kepada penguasa, kalamnya amat bertaji.
Jangan berkeluh kesah kepadanya. Sedikit saja kita mengadu, responnya menggebu-gebu. “Siapa berani mengganggu awak, berhadapan dengan saye!”
Suatu hari saya bertandang ke rumah Bang Abdul Hamid yang asri, di tepian laut daerah pesisir Teluk Keriting, Kota Tanjungpinang. “Selamat datang di rumah Sultan Turki,” katanya menyambut. Kami tergelak.
Turki itu rupanya singkatan asal-asalan dari Teluk Keriting. Perawakan Bang Hamid memang mirip orang Mediteran. Berkulit coklat, hidungnya mancung.
Sejurus kemudian ia menatap langit-langit. “Aku sekarang banyak belajar mengaji, Mon. Yang di sini, sini, sini, sini sudah aku lepaskan,” ujar dia sambil menunjuk titik-titik tertentu di sekujur badan.
Entah serius entah bercanda, Bang Hamid berkisah di masa mudanya ia sering menuntut ilmu kebal, menanam benda gaib di tubuhnya. Modal yang menurutnya sangat penting dimiliki wartawan pemberani.
“Sekarang sudah Abang lepas semua?” saya bertanya. Bang Hamid menggeleng. Saya bilang, kalau ilmu kebal itu masih tertanam di raganya, meski sedikit, maka Abdul Hamid akan menjadi satu-satunya Sultan Turki sepanjang sejarah yang susah mati. Kami tertawa lagi, terngilai-ngilai.
Sempat bekerja di beberapa media kecil, Abdul Hamid muda mematangkan karir jurnalistiknya di Riau Pos, saat koran terbesar di Riau itu menerapkan teknologi Sistim Cetak Jarak Jauh (SCJJ) pada 1994 di Tanjungpinang.
Penghujung tahun 1999, ia bergabung ke Koran Lantang sebelum akhirnya mendirikan media online sendiri, Perisai.co. Mentor jurnalistiknya: Rida K Liamsi, almarhum Akmal Attatrik, Taufik Muntasir, Marganas Nainggolan.
“Hamid itu kuat sekali di lapangan. Nggak ada takut-takutnya. Investigasinya luar biasa. Terabas sana terabas sini,” kenang Pak Marganas.

Senin (17/2/2025) malam, selepas Isya, Bang Hamid mendadak mengalami sesak nafas. Istrinya, Ibu Mulyawila, membawanya ke rumah sakit. Setelah mendapatkan perawatan intensif, dokter mengizinkan Bang Hamid pulang.
Esoknya, Selasa (18/2/2025) siang, sesak nafasnya kambuh lagi. Diduga serangan jantung. Bang Hamid segera dilarikan kembali ke rumah sakit.
Beberapa jam dalam penanganan medis, Abdul Hamid bin Amat Dollah (64 tahun), wartawan yang disegani lawan maupun kawan, pejuang pembentukan Provinsi Kepri, menghembuskan nafas terakhirnya dengan mudah dan tenang jam 16.37 WIB.
Tak ada lagi Sultan Turki, tiada lagi sahabat pembela yang sejati. Kepada Bang Hamid kita akan selalu belajar mengaji, sekaligus ‘mengaji’. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hanya mencatat bahwa mengaji berasal dari kata ‘kaji’ yang artinya belajar, memikirkan, menguji, menelaah.
Sementara menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) yang disusun WJS Poerwadarminta —kamus klasik terbitan Balai Pustaka tahun 1953 yang sering terlupakan itu — kata mengaji tak hanya berasal dari kata ‘kaji’, tetapi juga dari kata ‘aji’ (kuat, berharga, bertuah).
Ya, mengaji adalah laku meng-aji, suatu ikhtiar belajar yang tak pernah berhenti agar diri menjadi kuat, berharga, memperoleh tuah, muruah, martabat, dignity. Semuanya disimpulkan Bang Hamid cuma dengan dua kata: ilmu kebal.
Di zaman di mana profesi wartawan kian diheret-paksa menjadi hamba corporate, budak-budak kepentingan, maka ilmu kebal (baca: integritas) adalah sejuta perisai yang niscaya.
Selamat jalan Bang Hamid. Lapang terang di sana. Riangmu, sembilumu, menggubah senandung duka yang siul-menyiul. Sekejap lagi kami menyusul.
*). Penulis : Sahabat kita, Ramon Damora