Moral Licensing dan Deviansi: Perspektif Sikap dalam Pandangan Ki Hadjar Dewantara

PROBATAM.CO, Batam – Dalam dunia kerja, interaksi antar individu dan kelompok dapat memengaruhi berbagai perilaku yang terjadi di dalam organisasi. Salah satu fenomena yang menarik perhatian adalah Organizational Citizenship Behavior (OCB), yaitu perilaku sukarela yang mendukung organisasi meskipun tidak diwajibkan oleh pekerjaan. Perilaku ini sering kali dianggap positif karena dianggap dapat meningkatkan kinerja dan keharmonisan tempat kerja. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa OCB juga bisa memiliki dampak negatif, yaitu memicu deviansi organisasi, atau perilaku menyimpang yang merugikan organisasi.

Salah satu efek yang menarik untuk dibahas adalah moral licensing, yaitu fenomena di mana seseorang merasa “berhak” melakukan pelanggaran norma atau aturan setelah melakukan tindakan positif. Dalam konteks OCB, ketika seorang karyawan melihat rekannya berperilaku baik, ia mungkin merasa bahwa dirinya juga dapat bertindak menyimpang karena sudah “memenuhi kewajiban moral” dengan mendukung organisasi. Fenomena ini menarik untuk dipahami lebih jauh, terutama ketika dikaitkan dengan pandangan Ki Hadjar Dewantara mengenai sikap dan budaya dalam organisasi.

Moral Licensing: Pintu Pembenaran bagi Deviansi Organisasi

Penelitian menunjukkan bahwa ketika anggota kelompok melakukan OCB, karyawan lain mungkin merasa lebih bebas untuk melanggar aturan yang ada. Fenomena ini disebut moral licensing. Monin dan Miller (2001) serta Jordan et al. (2011) menjelaskan bahwa perasaan positif yang ditimbulkan oleh tindakan rekan kerja membuat individu merasa mereka telah “membayar” kewajiban moral mereka, sehingga mereka merasa bebas melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma organisasi.

Penting untuk dicatat bahwa fenomena moral licensing ini dipengaruhi oleh moral self-concept, yakni pandangan seseorang terhadap nilai moral yang mereka anut. Semakin positif pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri dan tindakan mereka, semakin besar kemungkinan mereka untuk membenarkan perilaku menyimpang. Dalam hal ini, moral self-concept berperan sebagai mediator yang mempengaruhi hubungan antara OCB anggota kelompok dan deviasi organisasi (Aquino & Reed, 2002; Snell & Williams, 2016).

Peran Identifikasi Kelompok dalam Moral Licensing

Studi juga mengungkapkan bahwa identifikasi kelompok atau seberapa kuat seorang individu merasa terhubung dengan kelompoknya dapat memperkuat efek moral licensing. Ketika karyawan memiliki ikatan yang kuat dengan kelompoknya, mereka cenderung merasa lebih diperbolehkan untuk melanggar aturan yang ada, terutama jika mereka merasa bahwa anggota kelompoknya telah menunjukkan perilaku positif melalui OCB. Brewer (1999) dan Ellemers et al. (2002) menyatakan bahwa semakin besar identifikasi seorang karyawan terhadap kelompoknya, semakin besar kemungkinan OCB dari rekan kelompok dapat memengaruhi perilaku menyimpang mereka.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana dinamika kelompok di dalam organisasi berperan dalam membentuk perilaku individu. Dalam organisasi yang sangat menekankan kebersamaan, seperti yang dipraktikkan oleh banyak perusahaan di Indonesia, identifikasi yang kuat dengan kelompok dapat menjadi faktor yang memperburuk deviasi organisasi jika tidak dikelola dengan baik.

Sikap dalam Pandangan Ki Hadjar Dewantara

Melihat fenomena moral licensing ini dari perspektif Ki Hadjar Dewantara, kita bisa memahami bahwa sikap individu dalam organisasi sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang terkandung dalam budaya organisasi tersebut. Dewantara berpendapat bahwa organisasi yang baik harus menciptakan iklim yang mendukung perkembangan moral dan budaya yang sehat. Dalam konteks ini, sikap karyawan terhadap moral licensing dapat dipengaruhi oleh bagaimana mereka memandang organisasi dan nilai-nilai yang ada di dalamnya.

Dewantara menekankan pentingnya budaya dalam membentuk sikap anggota organisasi. Jika sebuah organisasi mengutamakan nilai-nilai integritas dan tanggung jawab, maka karyawan akan lebih cenderung untuk menjaga perilaku yang sesuai dengan norma, tanpa mencari pembenaran melalui moral licensing. Sebaliknya, jika nilai moral dalam organisasi lemah, maka fenomena seperti moral licensing dan deviasi organisasi menjadi lebih mudah terjadi.

Implikasi Praktis bagi Manajer

Dari temuan-temuan ini, ada beberapa implikasi penting yang perlu diperhatikan oleh manajer dalam mengelola perilaku karyawan. Pertama, manajer harus sadar bahwa meskipun OCB sering kali dipandang sebagai perilaku positif, efek samping yang merugikan, seperti moral licensing, harus diwaspadai. Penting bagi manajer untuk mengelola dinamika kelompok dengan bijaksana, menjaga keseimbangan antara mendukung perilaku positif dan menghindari pembenaran bagi tindakan yang merugikan organisasi.

Kedua, manajer harus membangun budaya organisasi yang kuat dan mengedukasi karyawan tentang pentingnya integritas dan komitmen terhadap nilai-nilai yang ada di dalam organisasi. Dalam hal ini, pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang pentingnya nilai moral dalam organisasi sangat relevan. Dengan membangun budaya yang mendukung integritas, organisasi dapat mengurangi risiko terjadinya moral licensing dan deviasi organisasi.

Kesimpulan

Fenomena moral licensing dalam konteks OCB memberikan wawasan penting tentang bagaimana perilaku positif dalam kelompok bisa membuka pintu bagi deviasi organisasi. Efek ini menunjukkan pentingnya moral self-concept dan identifikasi kelompok dalam memoderasi hubungan antara OCB dan perilaku menyimpang. Dalam perspektif Ki Hadjar Dewantara, pengelolaan sikap dalam organisasi sangat bergantung pada pembentukan budaya yang mendukung integritas dan nilai moral. Oleh karena itu, manajer harus memperhatikan dinamika kelompok dan menjaga keseimbangan antara mendorong perilaku positif dan menghindari efek samping yang merugikan organisasi.

Dengan pemahaman yang baik tentang moral licensing dan pengelolaan budaya yang kuat, organisasi dapat menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan produktif, yang tidak hanya mendukung kinerja tetapi juga menjaga integritas organisasi.

Penulis: Wanda P. Asmoro

Mahasiswa Magister Manajemen Pascasarjana Ekonomi dan Bisnis

Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta