PROBATAM.CO, JAKARTA – Peserta seleksi dosen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) 2023 mengeluhkan banyaknya kejanggalan dan dugaan kecurangan. Keluhan itu salah satunya datang dari Fathia.
“Saya merasa dicurangi,” kata Fathia,Rabu (24/1/24).
Fathia mengikuti seleksi untuk menjadi dosen di salah satu universitas negeri di Depok, Jawa Barat. Dia menjelaskan ada dua tahapan tes yang harus dilewati.
Pertama, Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) yang terdiri dari tes wawasan kebangsaan (TWK), tes intelegensia umum (TIU), dan tes karakteristik pribadi (TKP).
Kedua, Seleksi Kompetensi Bidang (SKB). Kemudian, ada dua bentuk tes SKB yaitu tes objektif dengan Computer Assisted Test (CAT) dan non-CAT dalam bentuk microteaching dan wawancara.
Fathia dinyatakan lulus SKD. Dia mendapat total skor SKD tertinggi dibandingkan dua peserta lainnya.
Skor dia 29.018. Sementara dua peserta lainnya yaitu 26.982 dan 27.346. Namun, dia dinyatakan tidak lolos dalam SKB.
Fathia menduga dia sengaja tidak diloloskan dalam seleksi SKB non-CAT. Nilai wawancara Fathia tertinggi, tetapi nilai microteaching-nya di bawah batas minimal nilai kelulusan (passing grade).
Padahal, Fathia yakin telah melakukan tes microteaching dengan baik. Dia pun menanyakan kepada penguji dan guru besar di fakultas universitas tersebut terkait kesalahan apa yang dia lakukan dalam tes microteaching. Namun, jawabannya tidak ada.
Dalam tes seleksi CPNS dosen ini, ketentuan passing grade hanya berlaku pada tes wawancara dan microteaching. Oleh sebab itu, dia menduga celah kecurangan besar pada pemberian nilai tes ini.
“Tiga ujian pertama [SKD] ada passing grade-nya. Yang terakhir [wawancara dan microteaching] tidak ada. Makanya dijadikan ajang menggugurkan kandidat tertentu meskipun nilainya tinggi, yaitu dengan memberi nilai di bawah passing grade,” kata dia.
Fathia pun mengajukan sanggahan atas hasil tes tersebut. Sanggahan yang dikirimnya sangat detail. Salah satunya, dia menjabarkan materi yang dibuatnya sudah sesuai dengan ketentuan. Namun, sanggahan itu pun tak berbuah hasil.
“Sanggah saya tidak diproses, cuma dibalas template kayak yang lain. Kenapa enggak diproses?” ujarnya.
Fathia mengungkapkan beberapa peserta lain juga mengajukan sanggahan. Semuanya mendapat balasan yang sama, kecuali peserta yang melakukan audiensi dengan Kemendikbudristek.
Para peserta yang ikut audiensi, kata Fathia, belum mendapat jawaban. Dia menduga sanggahannya tengah diproses.
“Mereka audiensi ke Jakarta dan kumpulin berkas ke Itjen Kemendikbud. Sampai sekarang sanggahnya belum dijawab karena memang diproses. Sementara punya saya yang ikutin ketentuan sanggah sesuai alur BKN enggak diproses,” tuturnya.
Fathia mengaku akan menerima tak lolos seleksi jika kemampuannya memang tidak mumpuni. Namun, hasil tes dia hampir semuanya tertinggi.”Kalau aku memang kurang kompeten, aku terima. Tapi kalau gini aku kesel,” keluhnya.
Selain Fathia, peserta seleksi yang lain, Satrio juga menduga tes SKB non-CAT penuh manipulasi. Apalagi, tanggung jawab seleksi ini diserahkan ke masing masing perguruan tinggi.
Satrio mengikuti seleksi dosen CPNS untuk salah satu universitas negeri di Jakarta. Kejanggalan yang dia dapatkan yaitu adanya kesenjangan penilaian antar penguji.
“Total nilai microteaching saya 15,5. Saya diberitahu bahwa satu penguji memberikan nilai saya 19. Dan penguji lainnya memberikan nilai di bawah ambang batas atau kurang, karena beliau beranggapan saya tidak menjawab pertanyaannya dengan benar,” kata Satrio.
“Saya merasa ada kesenjangan penilaian. Salah satu penguji berpandangan bahwa penampilan dan jawaban saya baik-baik saja. Disparitas nilai antar penguji membuat saya bertanya-tanya apa motivasinya?” lanjutnya.
Satrio menyebut pemilihan materi atau mata kuliah dalam microteaching berdasarkan pada kompetensi yang dia miliki. Ia mengambil mata kuliah pengantar ilmu sejarah.
“Karena pada masa studi sarjana mendapatkan nilai sangat memuaskan di mata kuliah tersebut. Nilai yang sama juga didapatkan pada mata kuliah yang beririsan yaitu metodologi sejarah saat studi master,” ucapnya.
Dia juga mengungkapkan kompetensinya telah ditunjukkan dalam berbagai pengalaman yang diakui melalui sertifikat dari berbagai instansi baik di dalam maupun di luar negeri.
Di tahun 2021, Satrio diakui sebagai Overseas Researcher untuk National University of Singapore (NUS) oleh Associate Professor Masuda Hajimu.
Di tahun yang sama, Lembaga Sertifikat Profesi Kebudayaan Kemendikbud mengakui bahwa Satrio berkompeten dalam bidang sejarah. Selain itu, dia juga dipercaya melakukan penelitian dan penulisan untuk berbagai instansi seperti Pusat Sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kemendikbud.
Satrio melakukan sanggah atas perolehan nilai 15,5 pada saat microteaching. Sebelumnya, dari tiga peserta di formasinya, Satrio menduduki peringkat kedua dalam perolehan nilai SKD CAT.
Pada tes wawancara dan SKB CAT dirinya selalu menduduki peringkat kedua dari jumlah kebutuhan dua formasi pada perolehan seluruh tes, kecuali microteaching.
“Saya menjalani sanggah baik melalui akun SSCASN dan bersurat bukan ingin diluluskan. Tapi berharap transparansi, keadilan, dan objektivitas dalam pelaksanaan pengadaan PNS ini berjalan sebagaimana amanat undang-undang dan peraturan pemerintah yang saya tulis dalam surat sanggah,” ujar Satrio yang melamar dosen di kampus almamaternya itu.
Saat ini juga ada petisi dengan judul ‘Menuntut Keadilan dan Transparansi Sistem Seleksi Dosen CPNS Kemendikbud’ di change.org. Petisi itu diinisiasi seseorang bernama Agista Merin.
Hingga Rabu pukul 17.50 WIB, petisi itu diteken 1.425 orang. Agista berpendapat penilaian dua tes non-CAT dalam SKB bersifat sangat subjektif dan merugikannya dan peserta lain karena menekankan unsur ‘like and dislike’, bukan pada kompetensi peserta.
Tanggapan BKN
Plt Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama BKN Nanang Subandi mengklaim tes CPNS dosen telah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dia menyebut pelaksanaan SKB bagi formasi CPNS sesuai Peraturan Menteri PANRB 27/2021 Pasal 43 dan 44. Dalam ketentuan itu, selain melaksanakan SKB dengan sistem CAT, instansi pusat dapat melaksanakan SKB tambahan paling sedikit satu jenis/bentuk tes lain setelah mendapat persetujuan menteri.
SKB tambahan yang dimaksud bisa berupa psikotes, wawancara, tes kemampuan akademik, bahasa asing, jiwa, atau tes lainnya yang sesuai persyaratan jabatan.
Dia berkata SKB dengan sistem CAT memiliki bobot minimal 50 persen dari nilai SKB keseluruhan. Sementara SKB tambahan (non-CAT) diberikan bobot paling tinggi 30 persen.
Jika ada jenis/bentuk tes berupa uji penambahan nilai dari sertifikat kompetensi diberikan bobot paling tinggi 20 persen dari nilai SKB keseluruhan.
Sementara itu, kata dia pengolahan hasil SKB tambahan menjadi tanggung jawab panitia seleksi instansi yang hasilnya disampaikan kepada panitia seleksi nasional (panselnas). Pengolahan hasil integrasi nilai SKD dan SKB juga dilakukan oleh Panselnas.
Nanang tidak berkomentar banyak terkait adanya dugaan kecurangan pada seleksi SKB non CAT. Dia mengatakan hal tersebut menjadi kewenangan Panselnas.
“Silakan dilaporkan ke Panselnas,” kata Nanang saat dihubungi.
Kepala Biro Humas dan KIP Universitas Indonesia (UI) Amelita Lusia mengaku sudah mengecek dugaan kecurangan tersebut di internal kampus. Amelita mengklaim UI telah menjalankan seleksi sangat ketat.
“Karena kami ingin mendapatkan SDM yang terbaik dan menguasai keilmuannya,” kata Amelita, Kamis (25/1/24).
UI juga mengklaim mengembangkan mekanisme seleksi sedemikian rupa, sehingga melibatkan banyak pihak, baik di tingkat fakultas maupun universitas. Menurut Amelita, peserta yang lulus seleksi SKD, pasti ada yang tidak lulus di SKB. Ia mengatakan itu hal biasa.
Dia menjelaskan SKB di UI terdiri dari SKB CAT dan SKB tambahan yakni berupa wawancara oleh user dan microteaching. Pada tahap ini, kata dia, kompetensi bidang si pelamar dinilai untuk melihat apakah sesuai dengan jabatan yang sedang dibutuhkan dan dipersiapkan.
“Peserta yang lulus SKB CAT bisa saja tidak lulus SKB Tambahan. Pada suatu proses seleksi, pasti ada yang gagal, namun bukan berarti yang gagal itu jelek atau tidak berkompeten,” ujarnya.
“Hal itu semata-mata karena yang diterima lebih cocok dengan yang dibutuhkan oleh UI,” lanjutnya.
telah menghubungi pihak-pihak terkait lainnya, tetapi mereka belum juga merespons. Pihak yang dimaksud yaitu Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbudristek, Chatarina Muliana Girsang, Plt Kepala Biro Kerjasama dan Humas Kemendikbud Ristek Anang Ristanto, dan Rektor UNJ Komarudin. (*/Del)
Sumber: cnnindonesia