PROBATAM.CO, JAKARTA – Dalam berbagai agenda, calon presiden 2024 nomor urut dua Prabowo Subianto sering kali berjoget di hadapan khalayak ramai. Jogetnya itu belakangan disebut sebagai ‘joget gemoy’.
PAN, salah satu partai pendukung Prabowo, mengajak masyarakat merayakan pilpres dengan gembira lewat joget gemoy. Mereka bahkan video tutorial joget gemoy ala Prabowo.
Selain itu, ada jargon ‘jogetin aja’ hingga ‘senyumin aja’ yang kerap menjadi jawaban dari kubu Prabowo-Gibran Rakabuming Raka dalam menyikapi suatu peristiwa.
Gimik politik menghiasi pertarungan Pilpres 2024. Tak hanya pasangan calon nomor urut dua yang menggunakan gimik ‘joget gemoy’.
Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusung PDIP, PPP, Hanura, dan Perindo ini memakai gimik salam tiga jari.
Ganjar menyebutnya ‘tiga jari, tiga janji: taat pada Tuhan, patuh pada hukum, dan setia pada rakyat’. Ganjar-Mahfud mendapat nomor urut tiga untuk Pilpres 2024 mendatang, nomor yang sama dengan PDIP.
Sementara, pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut satu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar kerap mempersilakan komika atau konten kreator untuk mengkritik dirinya. Gimik itu digunakan sebagai tanda pasangan AMIN tidak antikritik.
Anies juga membuat akun Instagram khusus untuk kucing-kucingnya, yaitu ‘pawswedan’. Ia dan keluarga membuat konten dengan kucing-kucingnya.
Lantas, seberapa efisien gimik politik menarik dukungan suara terutama anak muda?
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah berpendapat gimik politik efisien memupuk popularitas karena mudah menjadi tren perbincangan serta dekat secara psikologis dengan karakter generasi muda. Namun, di lain sisi, risikonya pemilu jadi minim gagasan dan substansi.
“Memang berisiko minim gagasan dan pertukaran ide, termasuk gagal menjadikan politik sebagai tema diskusi subtansial, hanya saja gimik lebih banyak berdampak pada tataran praktis, yakni dikenal lalu menimbulkan gerakan pemilih,” ujar Dedi saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Senin (20/11/23) malam.
“Gimik sejauh ini memang cukup berhasil. Jokowi adalah bukti keberhasilan gimik,” lanjut dia.
Meski begitu, ia mengingatkan ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden Pilpres 2024 supaya tidak melulu melakukan gimik dalam setiap agenda.
Dedi menegaskan gagasan masih menjadi barang utama yang harus terus disosialisasikan kepada pemilih. Ia mengatakan tak semua gimik akan berhasil.
“Gagasan tetap perlu dalam nuansa meyakinkan publik untuk percaya, dan tentu menjaga wibawa ketokohan capres,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Trias Politika Strategi (TPS) Agung Baskoro menyatakan gimik menjadi salah satu cara menarik perhatian generasi muda ke politik. Menurutnya, pola kampanye dengan pendekatan ‘pop culture’ ini penting untuk menyasar pemilih generasi Z dan milenial.
“Sehingga dibutuhkan cara-cara aktual untuk menarik perhatian mereka kepada politik,” kata Agung saat dihubungi Senin.
Sementara secara strategis, menurut Agung, pendekatan gimik politik bisa disinkronisasi atau bersifat sebagai pelengkap dan penegas substansi program yang dijanjikan.
“Tergantung momen dan konteks di mana seorang capres-cawapres berada, agar politik bisa dipahami secara utuh dan semakin mudah dipahami karena disampaikan dengan atraktif,” imbuhnya.
Agung mengingatkan secara politis, visi, misi dan program dari setiap pasangan calon harus tetap menjadi bahasan utama kelompok pemilih yang belum memilih atau pemilih rasional.
Hal itu penting guna menjawab akar permasalahan yang dihadapi bangsa maupun merespons isu-isu ekonomi, sosial dan hukum yang mengemuka hingga sekarang.
“Sehingga, para capres-cawapres perlu fokus dalam memaparkan dan mengimplementasikan secara bertahap melalui penjelasan yang mudah dipahami disertai contoh (success story-nya) agar para pemilih yang belum memilih tertarik memilih dan yang sudah memilih bisa mengubah pilihannya bila masih ragu dengan salah satu pasangan capres-cawapres,” ucapnya. (*/Del)
Sumber; cnnindonesia