Oleh. Prof. Dr Muhadam Labolo
PROBATAM.CO, Jakarta – Hari-hari ini warga Rempang dan pemerintah bersitegang. Keduanya berupaya memastikan masa depannya masing-masing.
Warga memastikan hidupnya terlindungi oleh negara yang bahkan sejauh ini telah eksis sebelum negara tau membuat batas-batas administrasi tentang kepemilikan tanah oleh negara, swasta, dan rakyat. Negara, dinilai baru punya otoritas sejak merdeka.
Tentu saja negara bisa berdalih, bahwa kepemilikan atas tanah secara otomatis dikuasai negara dan dibagi menurut aturan dalam undang-undang pokok keagrariaan.
Sebelum negara ada tentu tanah dikuasai oleh tuan-tuan tanah di daerah masing-masing. Rakyat dengan terpaksa membayar sewa tanah kepada centeng yang di utus oleh para feodal, bangsawan, lord, sir dan baron.
Ketika era feodal berakhir, kekuasaan diambil alih rezim monarchi. Tak jauh beda, suka tidak suka rakyat harus membayar sewa tanah kepada raja, sultan, atau kelompok dinasti lokal.
Rakyat bisa di usir atas kepentingan kerajaan. Saat Indonesia merdeka, dengan sendirinya penguasaan tanah beralih pada negara. Negara mengaturnya lewat UUPA.
Kita paham bahwa negarapun ingin memastikan masa depan dirinya lewat personifikasi pemerintah mampu mensejahterakan rakyatnya.
Untuk tujuan itu setiap pemerintah punya agenda guna merealisasikan hal itu, misalnya memberi tanah buat rakyat lewat sertifikat gratis. Program Prona sedikit contoh bagaimana pemerintah memastikan masa depan kesejahteraan rakyatnya.
Pada negara-negara sosialis, tanah adalah aset paling berharga. Kepemilikan tanah setidaknya menunjukkan rakyat secara politik, ekonomi dan budaya dianggap merdeka dan karenanya patut dihormati.
Secara politik, tanah penanda rakyat punya kuasa. Semakin banyak tanah semakin luas kuasanya. Tak heran bila Tuan Tanah disegani dan punya akses terhadap kuasa di kampung.
Secara ekonomi, tanah penanda kekayaan. Semakin luas tanah semakin banyak kekayaan. Apalagi jika tanah produktif karena di bajak orang banyak. Seseorang bisa berubah menjadi kapitalis.
Secara kultural, tanah diyakini punya ikatan kuat dengan kelahiran, darah, keluarga dan habitat hidup manusia yang karenanya enggan diperjualbelikan bila tak semarga.
Dengan kesadaran itu, tanah, yang sejak lahir terikat dengan kita (tanah tumpah darah) dan karenanya menjadi ruang hidup bagi warga negara (lebensraum), tak bisa semena-mena diambil alih atas nama negara, apalagi atas nama orang perorang.
Pada negara otoriter dan totaliter, umumnya negara mudah mengklaim hak kepemilikan. Sumber kuasanya bukan dari rakyat, tapi tradisi dan aristokrasi.
Pada negara-negara demokrasi, idealnya negara justru memberi banyak ruang bagi hidup warganya, sebab merekalah puncak tertinggi dari rantai kekuasaan.
Pantas bila di sebut kedaulatan di tangan rakyat yang dijalankan melalui undang-undang, atau dulu dijalankan oleh majelis tertinggi MPR melalui presiden terpilih.
Malangnya, kepandiran rakyat mengelola negara di bajak oligarchi. Representasi rakyat yang kebanyakan papa dan miskin akal tak kuasa mengelola negara dengan perut kosong dan pikiran jernih.
Dalam kepayahan itu oligarchi hadir memberi kelezatan agar kuat dan lantang bicara. Apesnya, menjadi kuat memiting, dan lantang mewakili kepentingan oligarchi.
Sebagai konsekuensi pertukaran, para pemodal mengantri jatah makan siang. Subkultur ekonomi di lepas tanpa prinsip menjual seuntung mungkin, membeli semurah mungkin, dan mengelola seefisien mungkin (Ndraha, 2002).
Sumber daya di lepas dengan kebalikan prinsip itu, jual semurah mungkin, beli setinggi mungkin dan kelola sampai keraknya.
Kealpaan mengawasi subkultur ekonomi memicu terciptanya seleksi alam, struggle for life, survival of the fittest, konflik, dan ketidakadilan.
Rempang adalah sedikit contoh dari sejumlah kasus yang mirip, yaitu hilangnya kontrol kita terhadap subkultur ekonomi dalam kerangka berpemerintahan.
Dalam konteks ini tak ada yang paling efektif mengontrol subkultur ekonomi kecuali subkultur kekuasaan. Sayang seribu sayang, subkultur kekuasaan tersandera oleh janji manis subkultur ekonomi akibat mekanisme demokrasi berbiaya tinggi (high cost democracy). Itu sebabnya harapan subkultur sosial sebagai rantai puncak kuasa menjadi sia-sia.
Warga Rempang sebagai sedikit dari subkultur sosial tentu tak cukup kuat melawan keintiman subkultur ekonomi dan subkuktur kekuasaan, sekalipun mereka pemilik puncak kuasa.
Wakilnya mandul karena terikat hutang demokrasi. Dampaknya, kepedulian, kesadaran, dan keberanian berubah menjadi heroisme melawan negara. Class action yang beradab tiba-tiba menjadi collective action yang dinilai sebaliknya.
Pada konteks itu pemerintah harus mampu mengembangkan seni dan projeknya dengan baik (governmentality). Seni kepemimpinan setidaknya mampu menggantikan pola pendekatan legalistik ke para-legalistik. Pola relasi kuasa yang ego-sentrik ke eco-sentris.
Pola hirarkhis ke heterarkhis. Tak lupa mengubah cara mengurus tanah yang terlalu birokratis menjadi humanokratis.
Pada warga Rempang, pemerintah harus mampu menempatkan mereka sebagai faktor utama, bukan material yang mudah di geser dan diperjuabelikan.
Sebagai manusia, mereka harus jelas tempatnya dalam projek yang akan dikerjakan. Tanpa gagasan yang ideal, posisi mereka tak akan jelas sebagai penikmat akhir dari tetesan kemakmuran projek.
Sekali lagi, satu-satunya keuntungan bagi warga Rempang bila Ia dipastikan menjadi subjek utama dan pertama penikmat kemakmuran. Bukan menjadi saksi sejarah atas robohnya surau, rumah dan kampung tuanya.
Mereka jangan sampai menjadi tontonan dalam museum hasil relokasi. Bukan pula menjadi buruh kasar dan kelas rendahan di tanah airnya sendiri. (*)
Penulis : Guru Besar IPDN