PROBATAM.CO, Jakarta – Perundingan alot para Menteri energi Uni Eropa (UE) di belakang pintu tertutup, untuk mencapai “kesepakatan sukarela” mengurangi konsumsi gas nasional mereka sebesar 15 persen, mencerminkan adanya kesenjangan besar di antara negara-negara anggota.
Pertemuan darurat di Brussel pada hari Selasa (26/6) untuk menemukan kesepakatan tentang proposal yang diusulkan oleh Komisi Eropa seminggu yang lalu, mengungkap perpecahan yang mendalam di kalangan anggota. Karena kesepakatan yang ditandatangani akhirnya disertai dengan catatan penting, yaitu setiap anggota dapat menerapkannya “dengan ukuran pilihan mereka sendiri.”
Proposal asli dari Komisi Eropa, tadinya dimaksudkan sebagai “pengurangan konsumsi gas wajib” di seluruh negara anggota. Namun dalam perundingan selanjutnya, kesepakatan yang dihasilkan menjadi sangat berbeda.
Kesenjangan Utara-Selatan
Perpecahan terkait kebijakan yang harus diambil dimulai, ketika negara-negara yang tidak terlalu bergantung pada gas Rusia, seperti Spanyol dan Portugal, menolak opsi reduksi konsumsi gas 15% secara nasional.
“Dalam konteks kekurangan gas yang mendesak, harga energi yang tinggi, dan risiko resesi secara keseluruhan, solidaritas energi UE perlu diatur secara realistis,” kata Simone Tagliapietra, peneliti senior di lembaga tangki pemikir Bruegel kepada DW.
Karena itu, Spanyol dan Portugal bisa mendapat pengecualian. Sementara negara-negara yang tidak terhubung ke jaringan gas lain, seperti negara-negara kepulauan Irlandia, Malta dan Siprus, dibebaskan dari pengurangan konsumsi gas. Selain itu, negara-negara yang bisa melampaui target persediaan gas juga bisa mendapat pengecualian.
“Uni Eropa perlu membentuk mekanisme kompensasi, yang bertujuan untuk memberikan pembayaran yang adil untuk opsi pasokan dan permintaan gas yang relevan yang disediakan oleh negara-negara tertentu kepada negara-negara yang paling rentan,” kata Simone Tagliapietra. “Sekarang bukan saatnya menghidupkan kembali perpecahan lama Selatan-Utara.”
Semua mata tertuju pada Berlin
Jerman adalah negara yang sangat bergantung pada impor gas Rusia dan sangat rentan terhadap pengurangan pengiriman gas dari Rusia melalui jaringan pipa Nord Stream 1. Rusia saat ini menurunkan volume pengiriman gas sampai 20 persen dari biasanya.
“Banyak negara anggota Uni Eropa juga telah melakukan diversifikasi dari gas Rusia, sementara Jerman sejauh ini tidak melakukannya, dan tentu saja secara politik harus membayar harganya,” kata Jacob Funk Kirkegaard, peneliti senior di German Marshall Fund. Beberapa negara anggota Uni Eropa menilai, Jerman harus menanggung konsekuensi atas kesalahan politiknya sendiri.
Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen menegaskan, kesepakatan untuk mengurangi konsumsi gas adalah sinyal bahwa Rusia tidak dapat memeras Eropa dengan memaki senjata pengiriman gasnya.
Kelompok kampanye perubahan iklim seperti Greenpeace menuduh UE meleset dari sasaran, dengan mengabaikan kondisi darurat iklim atas alasan keamanan energi. “Alih-alih bertengkar tentang sistem energi siapa yang paling terancam, negara-negara anggota harusnya menggunakan peluang baru ini untuk mendorong penerapan energi terbarukan dan mendesak penghematan energi yang saat ini sangat dibutuhkan,” kata juru kampanye Greenpeace Uni Eropa, Thomas Gelin.(*)
Sumber: detik.com