PROBATAM.CO, Jakarta — Masjid Al-Muqarrabin Syafyi Shaful Mu’min yang berlokasi di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara lebih dikenal dengan Masigi Ogena (Masjid Agung) Wolio. Masyarakat sekitar juga menyebut bangunan ibadah peninggalan lama ini sebagai Masjid Agung Keraton Buton.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia dalam situs resminya menerangkan, masjid ini dibangun sejak awal kedatangan Islam di Buton yaitu sekitar abad ke-16 atau tahun 1527 Masehi.
Masjid ini pada awal pembangunannya memang ditujukan sebagai masjid kerajaan karena dibangun di pusat pemerintahan di dalam benteng Wolio. Penamaan Masigi Wolio atau disebut juga Masigi Ogena saat itu sesuai dengan sebutan masyarakat Buton, dalam bahasa daerah Wolio.
Masjid ini pada awal pembangunannya memang ditujukan sebagai masjid kerajaan karena dibangun di pusat pemerintahan di dalam benteng Wolio. Penamaan Masigi Wolio atau disebut juga Masigi Ogena saat itu sesuai dengan sebutan masyarakat Buton, dalam bahasa daerah Wolio.
Masigi Ogena didirikan pada masa pemerintahan Langkariri Sakiuddin Darul Ulum yang merupakan Sultan Buton ke-19, atas saran seorang ulama Arab, Syarif Muhammad atau Saidi Raba.
Adapun masjid tua ini kemudian menjadi sejarah dan aset yang memiliki makna sejarah dan bernilai strategis terkait pengembangan syiar Islam di Buton.
Arsitektur Tua dan Filosofi Masigi Ogena
Idham melalui jurnal lektur keagamaan ‘Pesona Masigi Ogena (Masjid Agung) Keraton Wolio Kesultanan Buton’ (2012) menuturkan secara visual Masjid Agung Wolio. Di luar area masjid terdapat tiang bendera yang terbuat dari kayu jati di sebelah utara.
Kemudian di sebelah timur laut, terdapat jangkar kompeni dan batu popaua yang notabenenya merupakan jejak tempat pengambilan sumpah sultan setelah dilantik dalam masjid. Selanjutnya di sebelah timur terdapat pendopo dan tempat pemotongan hewan kurban.
Masjid ini berbentuk persegi empat panjang dibangun dari dasar 24 pondasi dan dinding bangunan menggunakan batuan kapur dengan adukan bahan pasir dan kapur. Atap Masjid Agung Wolio terbuat dari seng dengan kayu balok penyanggah dari kayu jati dan kayu wola. Adapun masjid ini terdiri atas tiga lantai.
Lantai pertama menggunakan semen dan dilengkapi marmer, sementara lantai dua dan tiga terbuat dari kayu. Masjid ini juga khas memiliki empat buah jendela, dan secara keseluruhan jendela dan pintu dicat dengan warna biru.
Masjid ini kemudian diklaim sebagai salah satu masjid tua dengan jumlah tiang terbanyak di seluruh penjuru negeri. Secara keseluruhan, tiangnya berjumlah 60 buah dengan rincian, sebanyak 20 buah tiang berada di ruang utama yang menjadi penyanggah lantai dua dan atap, 10 buah tiang soko guru yang langsung ke limas dua, selebihnya tiang berada pada sekeliling tembok yang tertanam dalam tembok dinding.
Selanjutnya, ada dua buah tangga yang menghubungkan antara lantai satu dengan lantai dua dengan 11 anak tangga. Serta 13 anak tangga yang menghubungkan lantai dua dengan lantai tiga.
Apabila menelisik pada serambi sebelah timur terdapat balai-balai yang dalam bahasa Wolio disebut gode-gode. Gode-gode sebelah utara dari tangga masjid difungsikan sebagai tempat istirahat perangkat masjid dan gode-gode. Sementara bagian selatan dari tangga masjid ditujukan sebagai tempat istirahat para anggota kesultanan.
Mitos Pusat Bumi dan ‘Lubang’ ke Makkah
Banyak masyarakat setempat yang percaya bahwa Masjid Agung Wolio dibangun di atas pusat bumi lantaran konon ada yang pernah mendengar suara azan dari Makkah. Lubang yang disebut Pusena Tanah berada tepat di belakang mihrab.
Melansir Islamic Center, kepercayaan itu berawal saat seorang pemuka agama Islam di Wolio Syarif Muhammad mendengar suara azan dari sebuah bukit kecil di keraton itu. Saat itu, perang bersaudara tengah berkecamuk selama tiga bulan yang melibatkan pemimpin pasukan pengawal kerajaan bernama Langkariri.
Kepanikan dan peperangan terjadi di kota, Syarif kemudian mendengar suara azan melalui sebuah liang yang ada di bukit itu. Diceritakan pula, Syarif Muhammad mendengar banyak orang melaksanakan salat Jumat dengan latar ibadah di Makkah.
Serta merta ia mengumumkan kepada penduduk seluruh negeri bahwa hari itu adalah hari Jumat. Karena itu, mereka berbondong- bondong melaksanakan salat Jumat di atas bukit tadi. Syarif Muhammad kemudian menentukan arah kiblat untuk salat menghadap pada lubang rahasia yang disakralkan tersebut.
Pada kesempatan itu, Syarif Muhammad menyampaikan khutbah perdamaian bagi pihak-pihak yang bertikai. Sejak itu kehidupan berangsur normal. Perang pun usai. Setiap hari Jumat dilaksanakan salat Jumat di atas bukit yang berliang itu.
Sebab, masjid keraton yang dibangun di masa pemerintahan Sultan Kaimuddin, Sultan Buton pertama, telah menjadi puing akibat perang yang baru saja lewat. Penduduk menyebut Kang yang ada di bukit kecil itu sebagai Pusena Tanah ‘pusatnya tanah/bumi’, sebab liang itu sangat berhubungan dengan Tanah Suci Makkah.
Mitos itu kemudian menarik minat sejumlah masyarakat untuk berbondong-bondong ke masjid itu. Namun demikian, masjid hanya dibuka saat waktu salat, apabila sudah lewat waktu salat masjid kembali ditutup sementara.
Ada pula mitos lubang misterius menuju ke Makkah yang kemudian dibantah pengurus masjid. Lubang itu kemudian diketahui merupakan pintu rahasia untuk menyelamatkan Sultan Buton apabila tertekan oleh musuh.(*)
Sumber: cnnindonesia.com