PROBATAM.CO, Jakarta — Indonesia melalui Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur menyayangkan keputusan pengadilan di Malaysia karena membebaskan seorang majikan yang memperbudak tenaga kerja Indonesia (TKI) dan tak membayar gajinya selama 9 tahun lebih.
Duta Besar RI untuk Malaysia, Hermono, mengatakan pihaknya telah meminta jaksa mengajukan banding atas putusan pengadilan tersebut.
“Keputusan ini tentu sangat mengecewakan dan tidak memberi keadilan kepada korban kerja paksa dan kekerasan fisik selama bertahun-tahun,” kata Hermono dalam pernyataan resmi, Jumat (18/2).
Berdasarkan informasi dari Dinas Tenaga Kerja Kelantan pada Kamis (17/2), Pengadilan Kota Bahru, Kelantan, telah memutus bebas majikan DN yang berinisial DB dari tuntutan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan kekerasan fisik.
Dalam keterangan itu dijelaskan bahwa DN yang berasal dari Desa Bakuin, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur telah mengalami kerja paksa tanpa mendapatkan upah selama lebih dari sembilan tahun.
Ia juga mengalami kekerasan fisik hingga pendengarannya terganggu. Selain bekerja di rumah majikan, DN juga dipekerjakan di bengkel mobil milik majikannya.
Pada akhir Oktober 2020, DN melarikan diri dari rumah majikan karena tidak tahan mengalami kekerasan fisik dan kerja paksa lebih dari 15 jam sehari tanpa hari libur.
Berdasarkan laporan DN, Dinas Tenaga Kerja Kelantan bersama Polisi menangkap DB pada November 2020 dan diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) disertai kerja paksa dan penganiayaan. Namun, pengadilan membebaskan DB dari semua tuntutan.
Melalui pengacaranya, DB pernah mengusulkan penyelesaian di luar persidangan dengan membayarkan gaji DN. Tawaran itu ditolak DN dan KBRI Kuala Lumpur karena nominalnya jauh di bawah tuntutan gaji yang seharusnya dibayarkan.
Hermono mengatakan pihaknya telah menunjuk pengacara untuk menuntut DB di peradilan perdata menyusul upaya banding ke pengadilan.
“Kami tidak hanya menuntut gaji yang tidak dibayar, tetapi juga bunga dan kompensasi. Ini penting untuk memberikan efek jera kepada majikan,” kata Hermono.
Ia menambahkan bahwa kasus kerja paksa dalam bentuk tidak membayar gaji, penahanan dokumen, larangan berkomunikasi banyak dialami oleh pekerja migran asal Indonesia.
Tidak hanya di sektor rumah tangga, kasus itu juga terjadi di sektor lain seperti perkebunan dan manufaktur.
Menurut catatan KBRI Kuala Lumpur, selama 2021 pihaknya berhasil mengembalikan hak gaji PMI sejumlah RM2.166.890,63 atau lebih dari Rp7 miliar kepada 206 pekerja migran asal Indonesia di sektor rumah tangga.
Sementara untuk 2022, pemerintah mengembalikan gaji 16 pekerja migran asal Indonesia yang mencapai RM337.270. Data itu belum termasuk penyelesaian kasus gaji oleh Konsulat Jenderal dan Konsulat Indonesia di Malaysia.
Di akhir pernyataan, Hermono meyakini bahwa sebenarnya masih banyak pekerja migran asal Indonesia di Malaysia yang menjadi korban kerja paksa.
Namun, hanya sedikit dari mereka yang bisa melapor ke kedutaan karena terhalang sejumlah kendala seperti, tidak diizinkan berkomunikasi hingga mendapat ancaman.(*)
Sumber: cnnindonesia.com