Kekeringan bendungan di Afrika Selatan. (Merdeka.com)

Apa yang Diinginkan dan Diharapkan Negara-Negara Miskin dari KTT Iklim PBB?

PROBATAM.CO, Kenya – Negara-negara berkembang merupakan yang paling rentan atas kerusakan yang disebabkan perubahan iklim seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan. Menyampaikan kepentingan negara-negara miskin dan kecil sangat vital dalam negosiasi KTT iklim PBB atau COP26 di Glasgow, di mana para pemimpin menyepakati komitmen-komitmen baru untuk mengatasi perubahan iklim.

Apa yang diinginkan negara-negara miskin?

Negara-negara yang kurang maju telah menetapkan prioritas mereka untuk negosiasi. Mereka ingin negara-negara kaya dan maju melakukan beberapa hal berikut, seperti dikutip dari BBC, Selasa (9/11/2021):

  • Memenuhi janji untuk menggelontorkan USD 100 miliar setiap tahun untuk membantu mengurangi emisi dan beradaptasi untuk perubahan iklim
  • Sepakat dengan target nol-bersih gas rumah kaca sebelum 2050, dengan target spesifik target para penghasil emisi besar seperti AS, Australia, dan negara-negara di Uni Eropa
  • Mengakui kerugian dan kerusakan yang mereka alami, seperti dampak naiknya permukaan air laut atau banjir yang sering terjadi
  • Memfinalisasi aturan bagaimana negara-negara akan mengimplementasikan perjanjian sebelumnya

Ada frustrasi atau kekecewaan mendalam para pemimpin negara berkembang bahwa negara-negara kaya di dunia belum menepati komitmen mereka sebelumnya.

“Sebelum membuat janji-janji baru, mulai tepati janji yang ada,” kata Presiden Kenya, Uhuru Kenyatta.

Negara paling berisiko terkena dampak perubahan iklim

Negara-negara berkembang secara historis menyumbang proporsi kerusakan sangat kecil dari emisi yang merusak yang menyebabkan perubahan iklim – dan saat ini 1 persen populasi negara-negara paling kata menyumbang lebih dari dua kali lipat emisi dari gabungan 50 persen negara-negara miskin.

Negara-negara miskin ini juga lebih rentan terkena dampak cuaca ekstrem karena mereka secara umum lebih bergantung pada lingkungan atau alam untuk makanan dan mata pencahariaan, dan memiliki anggaran sedikit untuk mitigasi.
Selama 50 tahun terakhir, dua lebih dari tiga kematian disebabkan cuaca ekstem – termasuk kekeringan, kebakaran hutan, dan banjir – terjadi di 47 negara kurang maju.

Tindakan negara-negara kaya

Apa saja yang dilakukan negara-negara kaya untuk mengatasi situasi ini?

Pada 2009, negara-negara kaya berjanji untuk mendanai USD 100 miliar per tahuan pada 2020 dari sumber daya publik maupun swasta, untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang.

Uang tersebut untuk membantu mendanai tindakan untuk mengurangi bahaya emisi dan melindungi dari dampak cuaca esktrem, seperti sistem antisipasi banjir dan investasi sumber daya energi terbarukan.

Namun komitmen yang dipenuhi hanya USD 80 miliar pada 2019, dan target USD 100 miliar saat ini tidak mungkin tercapai sebelum 2023.

Membuat kesepakatan bagaimana memenuhi komitmen tersebut bagi negara-negara berkembang sangat penting jika dunia ingin mencapai tujuannya untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celcius.

“Itu bukan aksi amal. Jadi danai kami atau lenyap bersama kami,” kata Presiden Malawi, Lazarus Chakwera saat hadir di KTT Glasgow.

Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson menenuhi target USD 100 miliar menjadi salah satu dari empat prioritasnya dalam negosiasi di Glasgow. Dia mengatakan negara-negara kata telah “memanen manfaat dari polusi tak terkendali selama beberapa generasi, seringkali dengan mengorbankan negara berkembang”, dan mereka memiliki “tugas” untuk mendukung negara berkembang dengan teknologi, keahlian, dan uang.

“Kita sedang menegosiasikan keselamatan kita,” kata Tagola Cooper dari Sekretariat Program Lingkungan Kawasan Pasifik, organisasi yang dibentuk anggota dari negara-negara kepulauan dan wilayah Pasifik.

Naiknya permukaan air laut membuat beberapa negara kepulauan ini paling rentan terkena dampak perubahan iklim, namun Cooper mengatakan kurangnya sumber daya berarti mereka tidak punya “kemewahan” untuk mengirimkan delegasi yang besar.

“Beberapa yang paling rentan dari kami akan berjuang untuk bersuara, dan didengar, dalam negosiasi-negosiasi ini.”

Melakukan perjalanan aman ke Glasgow di tengah pandemi menjadi salah satu kendala bagi banyak delegasi, khususnya negara-negara kepulauan Pasifik, di mana tingkat infeksi tetap rendah selama pandemi.

Hanya empat kepala negara kepulauan Pasifik dilaporkan hadir dalam KTT tersebut, di mana beberapa negara diwakili tim yang lebih kecil dan duta besar.

Negosiasi negara-negara miskin dalam KTT

Negara-negara berkembang biasanya kurang memiliki suara di panggung internasional, sehingga membantu membentuk kelompok atau blok untuk memperkuat tujuan mereka. Kelompok negara-negara miskin terdiri dari blok 46 negara termasuk Senegal, Bangladesh, dan Yaman dan mewakili 1 miliar orang.

Negara-negara ini bisa membangun posisis negosiasi yang lebih kuat ketika “prioritas dan kepentingan selaras”, kata ketua blok tersebut, Sonam Wangdi dari Bhutan.

“Krisis ini tidak ditangani seperti sebuah krisis. Itu harus diubah di sini di Glasgow,” jelasnya.

Jika ada perjanjian akhir, seluruh anggota PBB yang berjumlah 197 negara yang menandatangani Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim harus menandatangani.

Artinya, kesepakatan akhir harus diterima baik oleh negara kaya dan negara berkembang.

Para pemimpin dunia gagal membuat persetujuan yang mengikat secara hukum di Kopenhagen pada 2009, sebagian karena negara-negara berkembang seperti Sudan dan Tuvalu menolak kesepakatan akhir.(*)

Sumber: Merdeka.com