Gedung Kejaksaan Agung. (Photo: Merdeka.com)

Kejagung: Kasus Fraud Perbankan Bisa Terjadi Mulai dari Teller Sampai Direksi

PROBATAM.CO, Jakarta – Kapuspenkum Kejagung, Leonard Eben Ezer menilai, sebagai tempat perputaran uang, Bank memiliki kedudukan yang rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan. Baik oleh pihak Bank sendiri maupun oleh pihak luar yang manfaatkan Bank sebagai tempat untuk sembunyikan hasil kejahatannya.

“Penyalahgunaan kewenangan ini disebut dengan istilah Fraud,” kata Leonard dalam keterangan tertulisnya, Minggu (19/9/2021).

Leonard mengatakan hal tersebut dalam Forum Koordinasi dengan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yaitu Bank Mandiri, BNI, BRI dan BTN. Acara digelar di Press Room Kejaksaan Agung Kebayoran Jakarta Selatan. Hadiri dalam acara ini Jaksa Agung Muda Intelijen Sunarta.

Dia mengatakan, dalam Peraturan OJK Nomor 39 Tahun 2019 Tentang Penerapan Strategi Anti-Fraud bagi Bank Umum, disebutkan bahwa Fraud adalah tindakan penyimpangan atau pembiaran yang sengaja dilakukan untuk mengelabui, menipu, atau memanipulasi Bank, nasabah, atau pihak lain, yang terjadi di lingkungan Bank dan/atau menggunakan sarana Bank. Sehingga mengakibatkan Bank, nasabah, atau pihak lain menderita kerugian dan/atau pelaku Fraud memperoleh keuntungan keuangan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menurut dia, dalam perbankan, pengawasan untuk mencegah terjadinya kecurangan (fraud) menjadi salah satu fokus utama yang paling dijaga. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator dan pengawas lembaga keuangan termasuk Bank-pun telah melakukan evaluasi sekaligus memperketat aturan di perbankan agar ruang terjadinya fraud semakin sempit.

Sesuai ketentuan mengenai manajemen risiko, Bank diwajibkan memiliki kebijakan dan prosedur untuk mengelola risiko, termasuk adanya sistem pengendalian intern terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan operasional pada seluruh jenjang organisasi Bank.

Selanjutnya Leonard menyampaikan, pengaturan mengenai pencegahan fraud di industri perbankan telah berlaku sejak tahun 2011, dan terakhir disempurnakan pada POJK No.39/POJK.03/2019 tentang Penerapan Strategi Anti-Fraud. Melalui POJK 39/2019 tersebut, regulator mewajibkan Bank untuk untuk menyusun dan menerapkan strategi anti-fraud secara efektif.

“Penyusunan dan penerapan strategi anti-fraud paling sedikit memuat 4 pilar, yaitu: Pencegahan, Deteksi, Investigasi, Pelaporan, dan Sanksi, keempat Pemantauan, Evaluasi dan Tindak Lanjut,” jelas Leonard.

Kata dia, meskipun berbagai kebijakan dan strategi diterapkan secara ketat dan terukur dalam penanganan anti-Fraud, baik oleh Bank maupun OJK, kasus fraud masih saja terjadi.

Pada bulan Agustus 2020, Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) yang merupakan organisasi terbesar anti-fraud di level global, merilis Report to the Nations (RTTN) yang mencatat adanya 2.504 kasus fraud dari 125 negara dengan median loss USD 8.300 per bulan, dan terhitung ada 29 kasus fraud di Indonesia.

Kasus yang menonjol adalah pada bulan Oktober 2020 lalu, Mantan Dirut Bank BTN, Maryono ditangkap oleh Kejaksaan Agung atas dugaan menerima gratifikasi dari debitur sebanyak 2 kali yaitu sejumlah Rp2,257 miliar dan Rp870 juta yang ditransfer ke menantunya.

“Ini artinya peristiwa Fraud bisa terjadi dimana saja dan oleh siapa saja baik itu pegawai pada lini depan (Teller, CS, Loan Service), Kepala Cabang, sampai ke jajaran Direksi,” tegas dia.

Kejaksaan Agung sebagai lembaga penegak hukum yang mempunyai fungsi utama penuntutan mempunyai peran vital dalam pencegahan fraud khususnya di Bank Milik Negara karena berkaitan dengan penyelamatan aset dan kekayaan Negara.

Langkah pencegahan dan deteksi dini tindakan fraud yang terindikasi merugikan keuangan negara perlu dijadikan concern dan bahkan digalakkan penguatannya. Hal ini dapat dipahami karena ketika fraud sudah terjadi, maka proses penanganannya membutuhkan tenaga, biaya dan waktu yang lebih banyak.

Perbankan tidak lepas dari kasus pidana, korupsi, dan gugatan. Oleh karena itu, salah satu fungsi intelijen Kejagung adalah pencegahan, maka strategi pencegahan menjadi hal utama di bidang intelijen guna penyelamatan keuangan negara dan aset serta Pemulihan Ekonomi Nasional.

Leonard juga menyampaikan, hingga saat ini masih belum optimalnya kepastian perlindungan bank kepada nasabah dan belum adanya sistem informasi tentang sistem deteksi dini (early warning system), serta diperlukan pemahaman yang sama antar Aparat Penegak Hukum dengan pihak Perbankan (khususnya Bank Milik Negara) mengenai strategi pencegahan fraud di Perbankan.

Menurut Leonard, perlu adanya persamaan persepsi dengan cara membangun sebuah kolaborasi lintas sektor antara Aparat Penegak Hukum yaitu Kejaksaan Agung dengan Himbara (Perhimpunan Bank Milik Negara yang terdiri dari: Bank Mandiri, BRI, BNI dan BTN) dalam jangka pendek serta dapat menggandeng OJK jangka menengah.

“Dan diharapkan jangka Panjang kolaborasi ini akan diperkuat dengan aparat penegak hukum lainnya (Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan, dan stakeholders lainnya,” terang Leonard.

Leonard menambahkan, tujuan proyek perubahan melalui inovasi dan integrasi dalam bentuk kolaborasi lintas sektoral pencegahan fraud ini akan bermanfaat untuk memperkuat sisten anti fraud pada bank milik negara.

Khususnya dalam pilar pencegahan, penguatan early warning system yang lebih cepat, efektif, valid, dan komprehensif. Lalu terciptanya Whole of Government (WoG) di antara para penegak hukum dalam rangka Pencegahan tindakan Fraud di Bank Milik Negara yang holistik, akurat & sistematis dalam penyelamatan aset & kekayaan negara.

“Serta mewujudkan Good Coporate Governance; dan pada akhirnya adanya kepastian dan perlindungan bagi Bank dan Nasabah, serta zero fraud,” terang dia.

Sementara itu, Direktur Kepatuhan dan Sumber Daya Manusia PT Bank Mandiri, Agus Dwi Handaya mengatakan, kolaborasi ekosistem ekonomi dengan ekosistem Aparat Penegak Hukum menjadi momentum. Pihaknya sangat terbantu, sebab tindakan pencegahan tidak bisa dilakukan sendiri.

Karena fraud yang terjadi merupakan dampak dari ekosistem yang jika tidak kolaborasi akan sulit sekali ditangani. Pihaknya juga meminta adanya penguatan sistem deteksi dini (early warning system) untuk memperkuat tindakan pencegahan. (*)

Sumber: Merdeka.com