Pro Natuna- Bianglala itu pelangi, cerpen dengan judul “Bianglala di langit Natuna “sempat menjadi pembahasan para sastrawan Riau dieranya, ini bukan cerpen kali pertama karya sastrawan anak kampong Sedanau kabupaten Natuna yang bisa menembus Nasional.
Ada banyak judul cerpen, puisi dan karya satra lainnya yang menasional, dikritik dan dibahas hingga dijadikan buku yang menjadi acuan para sastrawan Indonesia.
Siapa sangka sosok sastrawan yang sangat dikenal dikancah nasional ini berasal dari Sedanau. B.M Syamsuddin yang memiliki nama Asli Bujang Mat Syamsudin adalah seorang Sastrawan, yang lahir di Sedanau, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, 10 Mei 1935.
Peraih penghargaan Sagang kencana tahu 2010 ini namanya diabadikan sebagai nama tempat pertunjukan outdoor di komplek Bandar Serai (Purnam MTQ) Pekanbaru dengan sebutan Laman Bujang Mat Syam tepat didepan gedung teater tertutup anjung seni Idris Tintin.
Gedung yang terletak di kawasan Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai) Pekanbaru ini adalah gedung teater tertutup. Gedung ini berguna untuk pengembangan seni dan kebudayaan di Riau. Gedung ini pernah digunakan dalam acara Malam Anugerah FFI Riau 2007, Desember tahun 2007.
Kesederhanaan dan kearifanya terus dikenang oleh sastrawan dijamannya hingga kini, sayangnya justru nama BM Syam tak lagi diingat oleh generasi kini , khusunya di Natuna Tanah kelahirannya.
“ BM Syam telah meninggalkan jejak suci yang diikuti banyak orang, meski nama BM Syam hanya dikenal segelintir generasi hari ini, karena tidak ada upaya memperkenalkannya kembali, karena itu yayasan Sagang mencuatkan nama besar BM Syamsyuddin dengan meberikan penghargaan bernama Anugerah Sagang Kencana,” ungkap Rida K Liamsi.
Meski puluhan buku karyanya didedikasikan untuk nak-anak sekolah generasi muda Natuna, tapi buku-buku itu kini di Natuna perlahan menghilang dari ingatan, terpinggirkan oleh majunya jaman.
“ Dulu BM Syam sempat membangun sebuah perpustakaan di Sedanau tanah kelahirannya, isinya ribuan buku, perpustakaan ini adalah perpustakaan pertama dan terlengkap di Natuna, kami dulu sangat bangga rasanya bisa membaca buku diperpustakaan ini, kini perpustakaan itu entah..lah. dah perak mungkin bedebu dan dimakan usia, taka ade lagi anak-anak yang main kesana, jaman lah berubah,” terang salah satu anak lak-laki BM Syam Azil anak BM Syam.
Tanggal 12 Oktober 2020, Kabupaten Natuna tepat berusia 20 tahun, dalam periode ini pembangunan infrastruktur makin pesat, selama 20 tahun nterakhir ratusan Triliun dana APBD dan APBN digelontorkan untuk mengubah wajah Natuna, Natuna yang dulu alami, sederhana dan serba kesulitan kini sudah mulai banyak berubah.
Tidak bisa dipungkiri perubahan akibat pembangunan ini juga membawa dampak perubahan pada masyarakatnya, cara berpikir, cara bersosialisasi juga cara berbudayanya, apalagi generasi melenial 4.0 sangat jauh berbeda dengan generasi Natuna jaman doeloe, kondisinya mirip seperti judul salah satu cerpen B.M Syamsuddin “Asrama Itu Telah Tiada” yang sempat terbit di Koran nasional.
“ Era pemerintah Natuna saat ini mungkin tak ade lagi yang ingat BM Syam, mungkin sibuk, mungkin juga banyak yang dipikirkan, tak ade penande atau pengingat yang dibuat agar anak-anak Natuna bisa belajar sejarah dan budaya dari leluhurnya, entahlah.. mungkin suatu saat nanti ade masanya, “ jelas salah satu anak perempuan BM Syam Rita Rupiyati yang tinggal di Natuna.
Berikut Karya-karya BM Syam yang telah dibukukan antara lain Si Kelincing (1983), Batu Belah Batu Bertangkup (1982) Harimau Kuala (1983) Ligon (1984) Dua Beradik Tiga Sekawan (1982), Seni Lakon Mendu Tradisi Pemanggungan dan Nilai Lestari (1995), Seni Teater Tradisional Mak Yong (1982), Mendu Kesenian Rakyat Natuna (1981). Karya berbentuk Roman sejarah antara lain Jalak (1982) Tun Biajid I (1983) Tun Biajid II (1983), Braim Panglima Kasu Barat (1984), Cerita Rakyat Daerah Riau (1993), Karya berbentuk Cerpen Perempuan Sampan (1990) Toako (1991), Kembali ke Bintan (1991), Bintan Sore-sore (1991) Gadis Berpalis (1992), Pemburu Pipa,Sepanjang Pipa (1992), Nang Nora (1992), Jiro San, Tak Elok Menangis (1992).
Cerpen fenomenalnya, ‘’Cengkeh pun Berbunga di Natuna’’, mendapat perhatian khalayak sastra Riau ketika terbit di harian Kompas pada tahun 1991. Cerpen ini kemudian terpilih sebagai salah satu cerpen pilihan Kompas dan terbit dalam antologi Kado Istimewa (1992). Cerpen-cerpen penting lainnya antara lain ‘’Perempuan Sampan’’ (1990), ‘’Toako’’ (1991), ‘’Kembali ke Bintan’’ (1991), ‘’Bintan Sore-sore’’ (1991), ‘’Gadis Berpalis’’ (1992), ‘’Pemburu Pipa Sepanjang Pipa’’, ‘’Nang Nora’’, dan ‘’Jiro San, Tak Elok Menangis’’ (1992). Perjuangan BM Syam untuk kehidupan teater tradisional Melayu seperti makyong, mendu, bangsawan dan lainnya, juga dilakukan di berbagai helat kebudayaan, seperti di Taman Ismail Mazuki (TIM) 1970-an, hingga keterlibatannya dalam Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Nusantara pada 1990-an.
Setelah BM Syam meninggal pada Jumat, 21 Februari 1997 di Rumah Sakit (RS) Ahmad Muchtar, Bukittinggi, karena penyakitnya, tak banyak lagi seniman yang mampu seperti dirinya.
BM Syam menunjukkan keprihatinannya bukan hanya dengan ucapan, kajian, wacana dan pemaparan, tapi juga mengajarkan dan memberi teladan bagaimana menghidupkan bentuk-bentuk seni warisan itu.
Meski banyak dikritik orang karena dianggap sebagai ’perusak tradisi’ tersebab telah menafsirkan sendiri teater tradisional, namun BM Syam tetap kukuh dengan apa yang dilakukannya. Dia kemudian mengimbuhkan kata ‘’muda’’ pada nama-nama teater tradisional itu, misalnya bangsawan muda, mendu muda dan sebagainya. BM Syam tak ingin wacana tradisional dan modern diadu yang kemudian menimbulkan konflik kebudayaan. BM Syam seperti ingin mendamaikan dua kutub yang dalam wacana kebudayaan beradu pantat tersebut. Harus akui, BM Syam adalah seorang pejuang dan pendobrak teater tradisi.
Ciri khas bahasa dalam karya-karya BM Syam adalah kemampuannya menggunakan bahasa Melayu dengan kosa kata lama yang kadang sudah jarang digunakan oleh masyarakat. Penggambarannya tentang perkampungan Melayu yang eksotik dan kadang ironis, memperlihatkan kepiawaiannya dalam mengarang.
Perjuangan BM Syam untuk kehidupan teater tradisional Melayu seperti Makyong, Mendu, Bangsawan dan lainnya, juga dilakukan di berbagai iven kebudayaan, seperti di Taman Ismail Mazuki (TIM) tahun 1970-an, hingga keterlibatannya dalam Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Nusantara pada tahun 1990-an. BM Syam juga kemudian mengajar sebagai dosen di Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik) FKIP UIR. Menurut Al Azhar lagi, setelah BM Syam meninggal, tak banyak lagi seniman yang mampu seperti dirinya. “BM Syam menunjukkan keprihatinannya bukan hanya dengan ucapan, kajian, wacana dan pemaparan, tetapi juga mengajarkan dan memberi teladan bagaimana menghidupkan bentuk-bentuk seni warisan itu,” ungkap pengurus harian Yayasan Bandar Serai Al Azhar..
Meski banyak dikritik orang karena dianggap sebagai “perusak tradisi” tersebab telah menafsirkan sendiri teater tradisional, namun BM Syam tetap kukuh dengan apa yang dilakukannya.
Dia kemudian mengimbuhkan kata “muda” pada nama-nama teater tradisional itu, misalnya Bangsawan muda, Mendu muda dan sebagainya. BM Syam tidak ingin wacana “tradisional” dan “modern” diadu yang kemudian menimbulkan konflik kebudayaan.
BM Syam seperti ingin mendamaikan dua kutub yang dalam wacana kebudayaan beradu pantat tersebut. “Harus kita akui, BM Syam adalah seorang pejuang dan pendobrak teater tradisi,” kata Al azhar lagi.
Pada mulanya, karya BM Syam seperti beberapa cerpen terkenalnya yang dimuat di banyak media Jakarta seperti Kompas dan Suara Karya, yakni “Jiro San, Tak Elok Menangis”, “Nang Nora”, “Asrama Itu Telah Tiada”, “Bianglala di Langit Natuna”, “Nang Sahara” atau “Cengkeh pun Berbunga di Natuna”, “Bintan Sore-sore”, “Perempuan Sampan”, “Toako” dan yang lainnya bisa menembus media Jakarta, kata Al azhar, karena cerpen-cerpen tersebut sangat eksotik menggambarkan setting Riau dan persoalan-persoalan yang dimunculkan.
“Saya mengambil kesimpulan itu karena saya yakin, mereka (media Jakarta, red) tidak memahami estetika Melayu. Yang mereka pahami adalah Melayu yang eksotik, yang terkesan tradisional dan lain sebagainya.” (red)
*Rangkuman dari berbagai sumber