PROBATAM.CO, Kuansin g- Lubuk Ambacang yang saat ini merupakan ibu kota Kecamatan Hulu Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau punya peranan penting pada masa Agresi Militer Belanda II di Indragiri, Riau.
Indragiri pada masa lalu, kini sudah menjadi tiga wilayah kabupaten di provinsi Riau yakni: Kabupaten Indragiri Hulu dengan ibukota Rengat, Indragiri Hilir dengan ibukota Tembilahan dan Kabupaten Kuantan Singingi dengan ibukota Teluk Kuantan.
Dikutip dari akun fb Datuak Panglima Itam, jejak-jejak sejarah menyebutkan, Negeri kecil Lubuk Ambacang yang merupakan desa paling hulu berbatasan dengan kabupaten Sijunjung, Sumbar ini adalah pertahanan republik Indonesia terakhir di Indragiri, ketika itu.
Berawal pada pagi 5 Januari 1949, Rengat ibukota Indragiri, dihujani peluru dan bom Mustang P-51 “cocor merah”, kemudian dilanjut dengan diterjunkannya pasukan khusus Belanda (KST) berkekuatan 180 orang.
Pasukan KST yg terkenal kejam ini (yang paling banyak pemberitaannya adalah Westerling) membunuhi penduduk Rengat, baik tentara republik maupun rakyat.
Sedikitnya sekitar 1500-2000 orang jadi korban termasuk bupati Toeloes, yang pernah menjabat bupati Indragiri dan juga merupakan ayah dari penyair Chairil Anwar.
Maka dalam waktu singkat Rengat jatuh ketangan Belanda. Belanda menyerang Rengat ketika itu untuk mengamankan kilang minyak disebelah utara kota itu (Lirik).
Kemudian menurut intelijen mereka (NEFIS), ada pabrik senjata pihak republik di sebelah baratnya (Air Molek), kemudian terakhir menurut NEFIS kekuatan TNI di Indragiri.
Pasukan republik (NKRI) yang tersisa dikomandoi kapten Marah Halim Harahap (terakhir gubernur Sumut), sambil terus melawan, mundur kearah hulu sungai Indragiri kearah kampung halaman rantau kuantan.
Sampai di rantau kuantan mereka dibantu oleh laskar2 rakyat seperti pasukan Elang Pulai dari Pangean, pasukan Gajah Putih dari Simandolak, Harimau Rimba dari Toar, dan lain-lain. Mungkin semua kenegerian di rantau kuantan membentuk laskar gerilya ketika itu kata sumber.
Konon karena kekuatan republik yang tidak sebanding, baik persenjataan maupun pengalaman tempur, satu persatu negeri-negeri di rantau kuantan dapat dikontrol sipenjajah Belanda.
Dari buku-buku sejarah lokal yang diingat sumber dalam akun tersebut, kontak senjata dengan Belanda terjadi di Cerenti, Inuman, Baserah, begitu seterusnya sampai Belanda bermarkas di Teluk Kuantan.
Sementara pihak republik (NKRI) bermarkas di Lubuk Ambacang, sekitar 30 km dari Teluk Kuantan, yang kini menjadi ibukota kabupaten Kuantan Singingi.
Dari Lubuk Ambacang inilah strategi gerilya melawan Belanda diatur, tak sekedar sebagai pusat gerilya melawan penjajah, Lubuk Ambacang juga dijadikan pusat pemerintahan sementara Indragiri dimasa itu.
Setelah disepakatinya perjanjian Roem-Roiyen, maka kedaulatan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville. Tanggal 15 Agustus 1949 gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia berlaku di seluruh Sumatera.
Dan berakhir pulalah peran negeri kecil ini sebagai pusat gerilya dan pusat pemerintahan Indragiri. Namun tidak banyak generasi muda yang tahu.
Perantau asal Lubuk Ambacang yang bermukim di Batam, Iin Piliang meminta pemerintah Riau dan khususnya pemerintah daerah Kuansing untuk lebih memperhatikan jejak-jejak sejarah negeri Kuansing termasuk salah satunya, Lubuk Ambacang tercatat dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari Agresi Belanda tahun 1949.
“Kecamatan Hulu Kuantan dikenal dengan potensi wisata alamnya selama ini. Disamping sejumlah air terjun, juga ada air panas dan jejak-jejak sejarah seperti tugu pemerintahan semetara Indragiri dan lokomotif kereta api belum lagi keindahan alamnya yang berbatasan dengan provinsi tetangga,”ungkap Iin.
Maka dari itu, ia berharap Bupati Kuansing H. Mursini segera merawat tugu bersejarah yang ada di Lubuk Ambacang dan termasuk memugar lokomotif Kereta api di seberang Sei Alah, agar bisa terawat dan jadi objek wisata di Kuansing. (*/dbs).