91 Petugas KPPS Meninggal, Haruskah Pilpres dan Pileg kembali Dipisah?

PROBATAM.CO, Jakarta – Sebanyak 91 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia dan 374 orang sakit usai bekerja saat Pemilu 17 April 2019. Mereka tersebar di 19 provinsi. Penyebabnya, mereka mengalami kelelahan. Haruskah pilpres dan pileg dipisah lagi?

Pemilu kali ini digelar secara serentak. Warga memilih presiden, anggota DPR, anggota DPRD, dan anggota DPD secara bersama-sama. Padahal pada Pemilu 2014, pilpres dan pileg digelar secara terpisah.

Untuk menghitung perolehan suara di tiap TPS membutuhkan waktu dan tenaga ekstra. Bahkan tak jarang penghitungan itu baru berakhir pada hari berikutnya.

Baca Juga :

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan dukacita mendalam atas meninggalnya sejumlah petugas KPPS dan aparat lainnya dalam Pemilu 2019. Jokowi menyebut para petugas itu sebagai pejuang demokrasi.

“Saya kemarin sudah menyampaikan, jadi ucapan berdukacita yang mendalam atas meninggalnya petugas-petugas KPPS, juga beberapa yang di luar KPPS. Saya kira beliau ini adalah pejuang demokrasi yang meninggal dalam tugasnya. Sekali lagi, atas nama negara dan masyarakat, saya mengucapkan duka yang sangat mendalam,” kata Jokowi.

Jokowi secara khusus dan atas nama negara mengucapkan keprihatinan dan duka cita tersebut. “Sekali lagi atas nama negara dan masyarakat saya mengucapkan duka yang sangat mendalam,” ucap dia.

Usulan pengkajian pilpres dan pileg dipisah ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, meninggalnya sejumlah petugas KPPS karena kelelahan saat Pemilu 2019 sudah menjadi kekhawatiran sejak awal. JK menyebut Pemilu 2019 sebagai pemilu paling rumit.

“Itu yang kita khawatirkan sejak awal. Bahwa ini pemilu yang terumit. Ternyata ada korbannya, di kalangan KPPS, juga di kepolisian ada korban,” kata JK.

Menurut JK, pemilu serentak yang berlangsung beberapa waktu lalu perlu dievaluasi. Salah satunya agar pileg dan pilpres kembali dipisah.

“Tentu harus evaluasi yang keras. Salah satu hasil evaluasi, dipisahkan antara pilpres dan pileg, itu supaya bebannya (petugas) jangan terlalu berat,” katanya.

Ditambahkannya, salah satu yang juga menjadi catatan adalah pemilihan caleg dilakukan secara tertutup. Caleg dapat dipilih oleh partai. “Termasuk juga caleg-caleg itu tertutup. Pilih partai saja, sehingga tidak terjadi keruwetan menghitung,” tuturnya.

Baca Juga :

Keputusan menggelar pemilu secara serentak ini diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Ketua MK Anwar Usman menjelaskan, salah satu pertimbangan majelis saat memutuskan pemilu serentak adalah efisiensi waktu dan anggaran. Namun, ia mengaku dalam pelaksanaanya, anggaran pemilu ternyata lebih besar dari perkiraan awal dan mencapai Rp35 triliun.

“Saya begitu pulang dari TPS, ternyata (sadar) betapa sulitnya Pemilu. Tapi putusan hakim MK pun bukan firman Tuhan, konstitusi saja bisa diamandemen. Ternyata anggaran pemilu (juga mencapai) sekitar Rp35 triliun,” tuturnya.

Anwar pun mengaku ikut berdosa lantaran turut memutuskan dilakukan pemilihan umum (Pemilu) secara serentak. “Saya merasa ikut berdosa karena saya ikut memutuskan,” ujar Anwar.

Dari pengalamannya pribadi, Anwar mengaku kesulitan dalam memilih saat memasuki bilik TPS. Pasalnya, terlalu banyak pihak yang harus dipilih dalam pemilu serentak tersebut.

“Kebetulan saya memilih di wilayah Tangsel (Tanggerang Selatan), masuk Banten. Jadi dari tingkat kesulitan memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika yang kita tau sebagai mbahnya demokrasi,” sebutnya.

Sementara itu, KPU juga mengaku akan mengevaluasi pelaksanaan pemilu untuk 2024. Bahkan KPU juga tengah membahas untuk kembali memisahkan pemilu lokal dan nasional.

“Ya, kita menunggu hasil evaluasi, hasil evaluasi akan kita kaji bersama. Tentu saja bersama DPR, bersama pemerintah, dan dengan teman-teman masyarakat sipil. Sebetulnya bagaimana sih format pemilu yang paling ideal buat kita. Kita lihat kelelahan yang luar biasa dari penyelenggara pemilu di bawah,” kata komisioner KPU Ilham Saputra.

“Kemudian juga bagaimana sebetulnya yang tepat, misalnya ada yang mewacanakan ada pemilu lokal, yang nanti sekali itu adalah pemilu DPRD provinsi, pemilu kabupaten/kota, dan pilkada. Misalnya begitu. Kemudian untuk pemilu nasional DPD, DPR RI, dan presiden,” kata Ilham.

“Nah, ini kan sedang dikaji bagaimana, nanti DPR juga akan berpikir juga bagaimana kemudian undang-undang ini mengatur sedemikian rupa format pemilu yang ideal untuk pemilu berikutnya. Karena, sekali lagi, juga harus ada UU yang jauh-jauh hari sudah ada mengatur Pemilu 2024. Jangan terlalu mepet,” imbuhnya.

Sementara itu, terkait dengan santunan terhadap anggota KPPS yang meninggal, Ilham mengatakan sudah meminta kepada DPR untuk membuat asuransi untuk anggota KPPS di lapangan. Namun Kemenkeu tidak memproses hingga pemilu berjalan.

“Begini ceritanya, bahwa tadinya kan kita diminta Komisi II untuk membuat asuransi untuk teman-teman penyelenggara di lapangan. Tapi kemudian kita sudah ajukan ke Kementerian Keuangan. Nah, entah bagaimana Kemenkeu nggak memproses. Dan pemilu sudah berjalan,” kata Ilham.

Simak artikel lainnya tentang Pilpres 2019 di Bizlaw.id

BACA JUGA

Berkaca ke Jawa Tengah, Ganjar Turunkan Kemiskinan dengan Buka Lapangan Pekerjaan

HDM Fayyadh

Lolos Seleksi Tertulis dan Psikologi, Ini Daftar Nama Calon Anggota KPU se-Kepri

HDM Fayyadh

Ditengah Covid-19 Muncul Hand Sanitizer Berstiker Foto Bupati

Jhony

PWI Kepri Berharap KPU Lebih Teliti dalam Tugasnya

Jhony

Diprediksi Ada Tiga Pasangan Kandidat Peserta Pilkada Lingga

Jhony

Abdul Ghani Dinilai Paling Layak Dampinggi Nizar

Jhony